Teori Logoterapi


2.1 Dasar-Dasar Logoterapi
2.1.1 Sejarah Logoterapi
Viktor Emil Frankl dilahirkan di Wina pada tanggal 26 Maret 1905 dari keluarga Yahudi. Frankl merupakan anak kedua dari pasangan Gabriel Frankl dan Elsa Frankl. Nilai-nilai dan kepercayaan atau spiritual Yudaisme berpengaruh kuat atas diri Frankl, khususnya persoalan mengenai makna hidup. Di tengah suasana kehidupan keluarga yang memperhatikan hal-hal keagamaan, Frankl menjalani sebagian besar hidup dan pendidikannya, mulai pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi (Koswara, 1992; Bastaman, 2007).
Viktor E. Frankl (1905-1997) berasal dari kota Vienna, Austria adalah Profesor bidang neurologi dan psikiatri di The University of Vienna Medical School dan guru besar luar biasa bidang logoterapi pada U.S. International University. Dia adalah pendiri apa yang biasa disebut madzhab ketiga psikoterapi dari Wina (setelah psikoanalisis S. Freud dan psikologi individu Alfred Adler), yaitu aliran logoterapi (Guttmaun, 1996).
Menurut Frankl dalam Bastaman 2007, dari tahun 1942 sampai 1945, Frankl menjadi tawanan di “kamp konsentrasi maut” Jerman, dimana orang tuanya, saudara laki-lakinya, istri dan anak-anaknya mati. Pengalaman mengerikan tersebut tidak pernah hilang dari ingatannya, tetapi dia bisa menggunakan kenangan 4mengerikan itu secara konstruktif dan tidak mau kenangan itu memudarkan rasa cinta dan kegairahannya untuk hidup.Di kamp itulah, Frankl mengalami dan menyaksikan para tahanan disiksa, diteror dan dibunuh secara kejam. Frankl berusaha turut meringankan penderitaan sesama tahanan dengan membesarkan hati mereka yang putus asa dan membantu menunjukkan hikmah dan arti hidup, walaupun dalam keadaan menderita. Frankl melihat bahwa tahanan yang tetap menunjukkan sikap tabah dan mampu bertahan itu adalah mereka yang berhasil mengembangkan dalam diri mereka tentang harapan akan kebebasan. Harapan bertemu kembali dengan keluarganya, serta meyakini akan pertolongan Tuhan dengan berbuat kebajikan, berhasil menemukan dan mengembangkan makna dari penderitaan mereka (meaning in suffering). Frankl banyak belajar tentang makna hidup, dan lebih spesifik lagi makna penderitaan (Bastaman, 2007).
Perang Dunia II berakhir dan semua tawanan yang masih tersisa di bebaskan, Frankl kembali ke Wina sebagai kepala bagian neurologi dan psikiatri di Poliklinik Hospital dan mengajar kembali di The University of Vienna Medical School. Selanjutnya Frankl menyebarluaskan pandangannya tentang logoterapi melalui artikel, buku dan ceramah-ceramah. Ia juga aktif melakukan kunjungan-kunjungan ke berbagai universitas di seluruh dunia sebagai dosen tamu atau pembicara dalam bidang logoterapi (Bastaman, 2007).


2.1.2 Batasan umum logoterapi
Logoterapi merupakan sebuah aliran psikologi atau psikiatri modern yang menjadikan makna hidup sebagai tema sentralnya. Dikelompokkan ke dalam aliran eksistensial atau psikologi humanistik. Frankl yang pada awalnya merupakan pengikut Freud dan Adler, membelot dari ajaran para seniornya tersebut (Morgan, 2012). Hal ini disebabkan oleh pengalamannya dengan para pasien yang membuatnya sadar adanya perubahan sindroma repressed sex dan sexually frustrated dari ajaran Freud menjadi repressed meaning dan existential frustrated. Begitupun dengan ajaran Adler dari feeling inferiority menjadi feeling of meaningless dan emptyness. Berbagai perubahan paradigma ini, kemudian menurut Frankl memerlukan suatu pendekatan baru, yaitu logoterapi (Barnes, 2000; Frankl dalam Bastaman, 2007).
Logoterapi berasal dari kata “Logos” yang dalam bahasa Yunani berarti makna (meaning) dan juga rohani berarti (spiritual), kata “Terapi” berarti penyembuhan atau pengobatan. Secara umum logoterapi dapat digambarkan sebagai corak psikologi atau psikiatri yang mengakui adanya dimensi spiritual pada manusia disamping dimensi ragawi dan kejiwaan, serta beranggapan bahwa makna hidup (the meaning of life) dan hasrat untuk hidup bermakna (the will to meaning) merupakan motivasi utama manusia guna meraih taraf kehidupan bermakna (the meaningful life) yang didambakan (Frankl dalam Bastaman 2007). Logoterapi bertujuan membantu pasien menemukan makna hidup. Namun Frankl menyatakan bahwa spirituality atau kerohanian dalam logoterapi tidak mengandung konotasi agama, bahkan ajaran logoterapi bersifat sekuler (Tomy, 2014).
Logoterapi percaya bahwa perjuangan untuk menemukan makna dalam hidup seseorang merupakan motivator utama orang tersebut. Oleh sebab itu Viktor Frankl dalam Bastaman 2007 menyebutnya sebagai keinginan untuk mencari makna hidup, yang sangat berbeda dengan pleasure principle (prinsip kesenangan atau lazim dikenal dengan keinginan untuk mencari kesenangan) yang merupakan dasar dari aliran psikoanalisis Freud dan juga berbeda dengan will to power (keinginan untuk mencari kekuasaan), dasar dari aliran psikologi Adler yang memusatkan perhatian pada striving for superiority (perjuangan untuk mencari keunggulan).
Orang yang hidupnya terus menerus mencari kenikmatan, akan gagal mendapatkannya karena ia memusatkannya pada hal-hal tersebut. Orang itu akan mengeluh bahwa hidupnya tidak mempunyai arti yang disebabkan oleh aktivitasnya yang tidak mengandung nilai-nilai yang luhur. Jadi yang penting bukanlah aktivitas yang dikerjakannya, melainkan bagaimana caranya ia melakukan aktivitas itu, yaitu sejauh mana ia dapat menyatakan keunikan dirinya dalam aktivitasnya itu (Guttmaun, 1996).
Frankl menekankan bahwa kematian atau ketidakkekalan hidup tidak membuat hidup itu tidak bermakna. Ketidakkekalan hidup lebih terkait dengan sikap bertanggung jawab, karena segala sesuatunya tergantung dari kemampuan kita untuk mewujudkan kemungkinan-kemungkinan yang pada dasarnya bersifat tidak kekal. Logoterapi tidak menyikapi setiap penderitaan (termasuk kematian) secara pesimistis, tetapi secara aktif (Tomy, 2014).
Dari pernyataan itu, Frankl dalam Bastaman 2007, menekankan sikap optimis dalam menjalani kehidupan dan mengajarkan bahwa tidak ada penderitaan dan aspek negatif yang tidak dapat diubah menjadi sesuatu yang positif. Karena manusia mempunyai kapasitas untuk melakukan hal itu dan mampu mengambil sikap yang tepat terhadap apa yang sedang dialaminya.
2.1.3 Teori yang Mendasari Logoterapi
Terdapat beberapa teori yang mendasari timbulnya pendekatan psikoterapi dengan teknik Logoterapi, antara lain (Mcleod, 2003) :
1. Eksistensialisme.
Logoterapi merupakan salah satu teknik psikoterapi eksistensial, dimana tujuan teknik psikoterapi yang menggunakan filosofi eksistensialisme ini adalah untuk mengungkapkan makna dasar keberadaan yang mendasari kehidupan manusia sehari-hari guna mencapai kehidupan autentik yang lebih baik. Pendekatan filosofi eksistensialisme ini menyatakan bahwa :
a. Manusia eksis dalam waktu, yang maksudnya adalah kejadian yang terjadi pada masa kini akibat adanya suatu sumber dimasa lalu dan hingga masa yang akan datang dengan berbagai kemungkinan.
b. Manusia berusaha untuk eksis, maksudnya adalah eksistensi manusia dalam dunia diungkapkan melalui dirinya sendiri (pikiran, perasaan, tingkah laku, kesadaran) dalam hubungannya dengan organisasi ruang yang ada di sekitarnya.
c. Kecemasan, ketakutan dan perhatian yang terpusatkan pada suatu kejadian merupakan konsekuensi dari sikap menyayangi terhadap seseorang dan dunia disekitarnya.
Dari pendekatan filosofi eksistensialisme ini dapat diambil kesimpulan bahwa keberadaan manusia di dunia mensyaratkan kemampuan bertanggungjawab terhadap tindakannya, sehingga dengan demikian manusia tersebut bersedia untuk ditempatkan dalam ruang yang telah ditentukan dalam berbagai kemungkinan kondisi yang ada (Mcleod, 2003).

2. Stoicisisme (tenang/sabar/tabah)
Sikap ketabahan/sabar/tenang juga harus dimiliki, karena tidak ada masalah yang tidak ada dalam dunia ini. Kita selalu dapat menentukan sikap menolong diri sendiri. Manusia yang berpendirian dan berkeyakinan selalu dapat berubah tetapi juga tergantung pada penafsiran mereka terhadap masalah. Bahkan dalam alam kematian dan penderitaan, dengan menujukkan keteguhan hati kita dapat memposisikan diri dalam situasi yang bermakna.
3. Pengalaman Pribadi Frankl (dalam studinya sebagai Psikiater)
“Ini adalah pelajaran, Selama tiga tahun saya menghabiskan waktu untuk belajar di Auschwitz dan Dachau, hal lain sama keadaanya, untuk melestarikan suasana belajar yang berorientasi kepada suatu tugas dimasa mendatang, atau menjadi manusia yang berharga, menanti masa depan, untuk sebuah makna yang harus diwujudkan dimasa mendatang”. Logoterapi merupakan perolehan ide-ide oleh Frankl dan improfisasi bahwa tidak semua yang nyata berkaitan dengan pengalamannya dalam mempelajari atau makna dari kehidupan.
2.1.4 Kesehatan Mental menurut Logoterapi
Menurut Frankl dalam Bastaman 2007, penyebab utama gangguan mental yang diderita seseorang adalah kegagalan manusia modern memperoleh arti kehidupan. Kehidupan modern telah mengabaikan keinginan manusia untuk mencari arti atau dasar hidup yang sesungguhnya.
Upaya manusia untuk mencari makna hidup bisa menimbulkan ketegangan batin, bukan keseimbangan batin. Tetapi ketegangan seperti itu justru merupakan prasyarat yang sangat dibutuhkan bagi tercapainya kesehatan mental. Frankl percaya bahwa tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang bisa lebih efektif membantu seseorang untuk bertahan hidup, bahkan dalam kondisi terburuk sekalipun, selain kesadaran bahwa hidupnya memiliki makna (Tomy, 2014).
Kesehatan mental seseorang didasarkan pada ketegangan dengan tingkatan tertentu yaitu tingkatan ketegangan yang sudah dicapainya dan tingkatan yang masih harus dicapainya, atau kesenjangan diantara kondisi seseorang pada saat tertentu dengan kondisi yang seharusnya dicapai. Salah jika kita beranggapan bahwa yang dibutuhkan manusia untuk mencapai kesehatan mental adalah keseimbangan, atau yang dalam ilmu biologi disebut dengan istilah homeostatis, yaitu sebuah kondisi tanpa tekanan. Melainkan upaya dan perjuangan untuk meraih sasaran yang bermakna, sebuah tugas yang dipilih dengan bebas. Yang dibutuhkan manusia bukan menghilangkan tekanan dengan ongkos apapun, melainkan panggilan untuk mencari makna hidup yang potensial yang harus dia penuhi. Dinamakan Frankl sebagai noodinamik, yaitu dinamika eksistensi atau kehidupan yang terletak diantara dua kutub medan ketegangan; kutub pertama mewakili makna yang harus dipenuhi manusia, sedangkan kutub lain mewakili orang yang harus memenuhi makna tersebut. Jadi, jika para terapis ingin memperkuat kesehatan mental pasien mereka, mereka tidak boleh ragu-ragu untuk menciptakan sejumlah ketegangan yang logis dengan mengajak si pasien untuk meninjau kembali makna hidupnya (Bastaman, 2007).
Frankl juga mengakui peran agama dalam kesehatan mental, meskipun menurutnya hubungan antar agama dan kesehatan mental tidak merupakan hubungan kausalitas langsung, seperti dijelaskan dalam skema berikut ini:
Mental Health Salvation & Faith
Psychoterapy Religion
Tujuan psikoterapi pada umumnya adalah mengembangkan kehidupan dengan mental yang sehat (mental health), sedangkan tujuan akhir agama adalah mengembangkan keimanan (faith) dan penyelamatan rohani (spiritual salvation). Walaupun keduanya mempunyai tujuan yang berbeda, yang satu berdimensi psikologis dan yang lain berdimensi spiritual, tetapi keduanya mungkin berkaitan dalam hal akibat sampingnya. Seorang beriman belum tentu sehat mentalnya, dan orang yang sehat mentalnya belum tentu beriman (Bastaman, 2007).
2.1.5 Konsep Dasar Logoterapi
Logoterapi memandang manusia sebagai makhluk bebas yang berusaha untuk merubah kehidupannya berdasarkan keinginan untuk mewujudkan makna yang dimilikinya menjadi kenyataan. Makna hidup adalah hal-hal yang dianggap sangat penting dan berharga serta memberikan nilai khusus bagi seseorang. Makna hidup terkait dengan alasan dan tujuan dari kehidupan itu sendiri. (Lukas, 1998; Bastaman, 2007).
Menurut Frankl dalam Koeswara, 1992, makna hidup bersifat objektif dan berada di luar diri manusia. Makna hidup bukanlah sesuatu yang merupakan hasil dari pemikiran idealistik dan hasrat-hasrat atau naluri dari manusia. Makna hidup bersifat objektif dan berada di luar manusia karena ia menantang manusia untuk meraihnya.
Dalam pelaksanaannya logoterapi memiliki tiga konsep utama, yaitu :
1. Makna ada pada setiap situasi hidup, baik dalam penderitaan atau kebahagiaan. Makna hidup merupakan sesuatu yang dianggap penting, dan memberikan nilai khusus bagi seseorang. Bila seseorang berhasil menemukan dan memenuhi makna hidupnya, maka kehidupan akan menjadi lebih berarti dan berharga. Dan pada akhirnya akan menimbulkan penghayatan bahagia (happiness) sebagai akibat sampingnya (Bastaman, 2007).
2. Kebebasan berkehendak, yaitu setiap manusia memiliki kebebasan yang tak terbatas dalam menemukan makna hidupnya. Makna hidup dapat ditemukan dalam kehidupan itu sendiri melalui karya-bakti, keyakinan atas harapan dan kebenaran serta penghayatan atas keindahan, iman dan cinta kasih.
“.........kehidupan tidak akan memberikan jawaban atas pertanyaan kita tentang arti hidup, tetapi sebaliknya menyerahkan kepada kita untuk menemukan jawabannya dengan jalan menetapkan sendiri apa yang bermakna bagi kita” (Viktor Frankl, dalam Bastaman, 2007:3)
3. Manusia memiliki kemampuan dalam mengambil sikap terhadap penderitaan dan peristiwa tragis yang terjadi. Apabila keadaan tragis tersebut tidak dapat diubah, maka sebaiknya manusia mengambil sikap yang tepat agar tidak terhanyut dalam menghadapi keadaan tersebut (Bastaman, 2007).
Ketiga konsep tersebut berkaitan dengan eksistensi manusia, pada logoterapi ditandai dengan kerohanian (spirituality), kebebasan (freedom) dan tanggung jawab (responsibility).
2.1.6 Landasan Filosofi dari Logoterapi
Logoterapi memiliki tiga pilar yang menjadi landasan filosofisnya, yaitu kebebasan berkeinginan, keinginan akan makna dan makna hidup (Sjolie, 2002; Haditabar dkk., 2013; Tomy, 2014).
1. Kebebasan berkeinginan (The Freedom of Will)
Tema khas yang selalu ada dalam literatur eksistensial (termasuk logoterapi) adalah bahwa orang itu bebas untuk menentukan pilihan di antara alternatif-alternatif yang ada, dan oleh karenanya mengambil peranan yang besar dalam menentukan nasibnya sendiri (Wong, 2011).
Pandangan logoterapi, manusia memiliki kebebasan yang luas, tetapi sifatnya terbatas, karena manusia adalah makhluk yang serba terbatas. Terdapat dua hal yang membatasi kebebasan ini.
a. Pertama, kebebasan manusia bukan merupakan kebebasan dari kondisi-kondisi (biologis, psikologis dan sosiologis), melainkan kebebasan untuk menentukan sikap terhadap kondisi-kondisi tersebut. Frankl sendiri berpendapat bahwa manusia bisa menentukan sendiri apakah dia akan menyerah atau mengatasi kondisi yang dihadapinya. Manusia tidak sekedar hidup tetapi dia selalu memutuskan bentuk hidup yang akan dijalaninya. Kemampuan inilah yang menyebabkan manusia disebut “the self determining being” yang menunjukkan bahwa manusia memiliki kebebasan untuk menentukan apa yang dianggap penting dan baik bagi dirinya.
b. Kedua, kebebasan harus disertai tanggung jawab (responsibility). Tanpa tanggung jawab, kebebasan mudah sekali berkembang menjadi kesewenang-wenangan. Logoterapi berusaha membuat pasien menyadari secara penuh tanggung jawab dirinya dan memberi kesempatan untuk memilih, untuk apa, kepada apa, atau kepada siapa harus bertanggung jawab.
Penunjukan kebebasan dalam pandangan Frankl berpuncak pada kebebasan berkeinginan sehingga ia menggunakannya sebagai landasan pertama logoterapi (Koswara, 1992).
2. Keinginan akan makna (The Will to Meaning)
Upaya manusia untuk mencari makna hidup merupakan motivator utama hidupnya. Makna hidup ini merupakan sesuatu yang unik dan khusus, artinya ia hanya bisa dipenuhi oleh yang bersangkutan; hanya dengan cara itulah ia bisa memiliki arti yang bisa memuaskan keinginan orang tersebut untuk mencari makna hidup (Wong, 2011).
Keinginan untuk mencari makna hidup, sangat berbeda dengan pleasure principle (prinsip kesenangan atau lazim dikenal dengan keinginan untuk mencari kesenangan) yang merupakan dasar dari aliran psikoanalisis Freud dan juga berbeda dengan will to power (keinginan untuk mencari kekuasaan), dasar dari aliran psikologi Adler yang memusatkan perhatian pada striving for superiority (perjuangan untuk mencari keunggulan) (Sjolie, 2002).
Terhadap kedua pendapat ini, Frankl dalam Bastaman 2007 memberi tanggapan bahwa kesenangan sama sekali bukan tujuan, melainkan “akibat samping” (by product) dari tercapainya suatu tujuan. Kekuasaan adalah sarana atau alat untuk mencapai tujuan dan bukan tujuan itu sendiri. Frankl sengaja menyebut “the will to meaning” dan bukan “the drive to meaning”, karena makna dan nilai-nilai hidup tidak mendorong (to push, to drive), tetapi seakan-akan menarik (to pull) dan menawarkan (to offer) kepada manusia untuk memenuhinya. Karena sifatnya menarik itu maka individu termotivasi untuk memenuhinya agar ia menjadi individu yang bermakna dengan berbagai kegiatan yang sarat dengan makna.
3. Makna hidup (The Meaning of Life)
Yang dimaksud dengan makna oleh logoterapi adalah makna yang terkandung dan tersembunyi dalam setiap situasi yang dihadapi seseorang sepanjang hidup mereka.
Sedangkan arti dari makna hidup menurut Frankl dalam Bastaman 2007 adalah makna tersendiri dari sebuah situasi yang konkrit. Lebih mengartikan makna hidup sebagai kesadaran akan adanya suatu kesempatan atau kemungkinan yang dilatar belakangi oleh realitas atau dalam kalimat yang sederhana menyadari apa yang bisa dilakukan di dalam situasi tertentu. Kepada hidup hanya bisa menjawab dengan bertanggung jawab. Karena itu, logoterapi menganggap sikap bertanggung jawab sebagai esensi dasar kehidupan manusia.
Dengan menyatakan bahwa manusia bertanggung jawab dan harus mewujudkan berbagai potensi makna hidup, Frankl ingin menekankan bahwa makna hidup yang sebenarnya harus ditemukan di dalam dunia dan bukan di dalam batin atau jiwa orang tersebut. Dia membuat istilah khusus untuk menggambarkannya, yaitu ”transendensi diri” dalam keberadaan manusia” (the self transcendence of human existence) (Tomy, 2014).
2.1.7 Faktor yang Mempengaruhi Kebermaknaan Hidup
Logoterapi sebagai filsafat manusia dalam beberapa hal banyak kesamaan dan kesejalanan dengan pandangan filsafat yang lain. Pandangan Logoterapi terhadap Manusia adalah sebagai berikut (Bastaman, 2007) :
1. Manusia merupakan kesatuan utuh dimensi ragawi, kejiwaan dan spiritual. Unitas bio-psiko-sosiokultural-spiritual.
2. Manusia memiliki dimensi spiritual yang terintegrasi dengan dimensi ragawi dan kejiwaan. Perlu dipahami bahwa sebutan “spirituality” dalam logoterapi tidak mengandung konotasi keagamaan karena dimensi ini dimiliki manusia tanpa memandang ras, ideology, agama dan keyakinannya. Oleh karena itulah Frankl menggunakan istilah noetic sebagai padanan dari spirituality, supaya tidak disalahpahami sebagai konsep agama.
3. Dengan adanya dimensi noetic ini manusia mampu melakukan self-detachment, yakni dengan sadar mengambil jarak terhadap dirinya serta mampu meninjau dan menilai dirinya sendiri.
4. Manusia adalah makhluk yang terbuka terhadap dunia luar serta senantiasa berinteraksi dengan sesama manusia dalam lingkungan sosial-budaya serta mampu mengolah lingkungan fisik di sekitarnya.
Tiga nilai berikut yang dapat menjadi sumber makna hidup seseorang (Tomy, 2014) adalah :
1. Nilai-nilai kreatif/daya cipta. (Creative Values)
Nilai-nilai ini diwujudkan dalam aktivitas kreatif dan produktif. Makna dari kegiatan berkarya lebih terletak pada sikap dan cara kerja yang tercerminkan keterlibatan pribadi (dedikasi, cinta kerja dan kesungguhan) pada pekerjaannya. Melalui kegiatan berkarya, bekerja dan melaksanakan tugas dan kewajiban sebaik-baiknya dengan penuh tanggung jawab dapat menemukan arti dan menghayati kehidupan secara bermakna.
2. Nilai penghayatan (Experential Values)
Nilai ini dilakukan dengan mengambil sesuatu yang bermakna dari lingkungan luar dan mendalaminya. Mendalami nilai-nilai penghayatan berarti mencoba memahami, meyakini dan menghayati berbagai nilai yang ada dalam kehidupan,seperti kebenaran, keindahan, kasih sayang, kebajikan dan keimanan dapat memberikan arti pada kehidupan seseorang.
3. Nilai bersikap (Attitudinal Values)
Mengambil sikap yang tepat atau sikap yang diberikan individu terhadap kondisi yang tidak dapat dapat diubah atau peristiwa tragis yang telah terjadi dan tidak dapat dihindari lagi. Dalam hal ini, yang dapat diubah adalah sikap, bukan peristiwa tragisnya. Dengan mengambil sikap yang tepat, maka beban pengalaman tragis itu berkurang, bahkan dapat menimbulkan makna yang lebih berarti (Schulenberg dkk, 2010).
Selain ketiga sumber makna hidup diatas, H.D. Bastaman menambahkan sumber makna hidup yang keempat yaitu Nilai Penghargaan (Hopeful values). Harapan adalah keyakinan akan terjadinya hal-hal yang baik atau membawa perubahan yang baik dikemudian hari. Adanya keyakinan seperti ini mengandung tujuan mengarahkan seseorang untuk menemukan makna hidup (Bastaman, 2007).
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas, perlu diungkapkan mengenai karakteristik makna hidup (Frankl dalam Bastaman, 2007), yaitu :
1. Makna hidup itu sifatnya “unik” dan “personal”.
Artinya, apa yang dianggap berarti oleh seseorang belum tentu berarti bagi orang lain. Bahkan mungkin, apa yang dianggap penting dan bermakna saat ini belum tentu sama bermaknanya bagi orang itu pada saat yang lain.
2. Makna hidup adalah “spesifik” dan “nyata”.
Artinya makna hidup bukan sesuatu yang khayal, melainkan makna hidup dapat ditemukan pada segala kondisi. Makna hidup juga tidak perlu sesuatu yang serba abstrak ataupun idealis, melainkan dapat ditemukan dalam pengalaman-pengalaman yang sederhana dalam kehidupan sehari-hari.
3. Makna hidup memberikan pedoman dan arah pada kegiatan yang dilakukan.
4. Makna hidup diakui sebagai sesuatu yang bersifat mutlak, sempurna dan paripurna. Yang disebut dengan The Ultimate Meaning of Life.
Menurut Frankl dalam Koeswara, 1992, seseorang yang tidak menemukan makna hidup akan mengalami sindroma ketidakbermaknaan (syndrom of meaninglessness). Sindroma ini terdiri dari dua tahapan yaitu kevakuman eksistensi (existential vacum) dan neurosis noogenik.
Kevakuman eksistensial terjadi ketika hasrat akan makna hidup tidak terpenuhi. Gejala-gejala yang ditimbulkan dari kevakuman eksistensial ini antara lain perasaan hampa, bosan, kehilangan inisiatif dan kekosongan dalam hidup. Fenomena ini merupakan fenomena yang menonjol pada masyarakat modern saat ini. Hal ini dikarenakan pola masyarakat modern yang sudah terlalu jauh meninggalkan hal-hal yang bersifat religi dan moralitas. Hal ini juga diakui para terapis yang berada di barat bahwa mereka sering menghadapi pasien dengan keluhan-keluhan yang menyangkut permasalahan yang terkait makna hidup seperti merasa tidak berguna dan perasaan hampa (Bastaman, 2007).
Frankl dalam Bastaman 2007 menekankan bahwa kevakuman eksistensialis bukanlah sebuah penyakit dalam pengertian klinis. Frankl menyimpulkan bahwa frustasi eksistensi adalah sebuah penderitaan batin ketika pemenuhan akan hasrat untuk mempunyai hidup yang bermakna terhambat. Frankl menyatakan bahwa kevakuman eksistensial tersebut bermanifestasi dalam bentuk neurosis kolektif, neurosis hari Minggu, neurosis pengangguran dan pensiunan, dan penyakit eksekutif. Beberapa bentuk manifestasi ini gejalanya sama yaitu kebosanan dan kehampaan, namun terdapat pada kondisi, individu dan waktu tertentu.
Neurosis noogenik merupakan sebuah simptomatologi yang berakar kevakuman eksistensialis. Frankl menerangkan bahwa neurosis ini terjadi apabila kevakuman eksistensialis disertai dengan simptom-simptom klinis. Disini permasalahan patologis tersebut berakar pada dimensi spiritual dan noologis yang berbeda dengan neurosis somatogenik (neurosis yang berakar pada fisiologis) maupun neurosis psikogenik (neurosis yang berakar pada permasalahan psikologis). Menurut Frankl neurosis noogenik itu sendiri dapat timbul dengan berbagai neurosis klinis seperti depresi, hiperseksualitas, alkoholisme, narkoba, dan kejahatan (Bastaman, 2007).
Orang yang mengalami kehampaan dan kekosongan hidup mungkin lari kepada alkohol dan narkoba dalam rangka mengisi kekosongan hidup tersebut. Kasus alkoholik dan narkoba yang berakar pada permasalahan kevakuman eksistensialis inilah disebut dengan neurosis noogenik (Koeswara, 1992).
2.1.9 Proses-proses Penemuan makna Hidup
Bastaman (1996) membagi proses penemuan makna hidup berdasarkan urutan yang dialami. Agar lebih jelas Bastaman menjabarkan proses penemuan makna hidup ke dalam sebuah skema, yaitu : 20

Pengalaman Tragis
Penghayatan Tak Bermakna
Penemuan Makna dan
Tujuan Hidup
Keterikatan Diri
Kegiatan Terarah dan Pemenuhan Makna Hidup
Pengubahan Sikap
Hidup Bermakna
Happiness
Skema Proses Penemuan Makna Hidup (Bastaman 1996)
2.2 Metode Logoterapi
2.2.1 Tujuan Logoterapi
Menurut Frankl dalam Marshall (2011), Logoterapi bertujuan agar dalam masalah yang dihadapi klien dia bisa menemukan makna dari penderitaan dan kehidupan serta cinta. Dengan penemuan itu klien akan dapat membantu dirinya sehingga bebas dari masalah tersebut.
Tujuan utama logoterapi adalah meraih hidup bermakna dan mampu mengatasi secara efektif berbagai kendala dan hambatan pribadi. Hal ini diperoleh dengan jalan menyadari dan memahamai serta merealisasikan berbagai potensi dan sumber daya spiritual yang dimiliki setiap orang yang sejauh ini mungkin terhambat dan terabaikan. Apabila seseorang tidak mengerti potensi-potensinya, maka tugas utama orang tersebut adalah menemukannya (Tomy, 2014). Ada pun tujuan dari logoterapi adalah agar setiap pribadi :
1. Memahami adanya potensi dan sumber daya spiritual yang secara universal ada pada setiap orang terlepas dari ras, keyakinan dan agama yang dianutnya;
2. Menyadari bahwa sumber-sumber dan potensi itu sering ditekan, terhambat dan diabaikan bahkan terlupakan;
3. Memanfaatkan daya-daya tersebut untuk bangkit kembali dari penderitaan untuk mampu tegak kokoh menghadapi berbagai kendala, dan secara sadar mengembangkan diri untuk meraih kualitas hidup yang lebih bermakna.
2.2.2 Hubungan Konselor dan Konseli dalam Logoterapi
Dalam logoterapi, konseli mampu mengalami secara subjektif persepsi tentang dunianya. Dia harus aktif dalam proses terapeutik, sebab dia harus memutuskan ketakutan, perasaan berdosa dan kecemasan apa yang akan dieksplorasi. Memutuskan untuk menjalani terapi saja sering merupakan tindakan yang menakutkan (Guttmann, 1996).
Konseli dalam terapi ini, terlibat dalam pembukaan pintu diri sendiri. Pengalaman sering menakutkan atau menyenangkan dan gabungan dari semua perasaan tersebut. Dengan membuka pintu yang tertutup, konseli mampu melonggarkan belenggu deterministic yang telah menyebabkan dia terpenjara secara psikologis. Lambat laun konseli mulai sadar, apa dia tadinya dan siapa dia sekarang serta klien lebih mampu menetapkan masa depan macam apa yang diinginkannya. Melalui proses terapi, konseli bisa mengeksplorasi alternative-alternatif guna membuat pandangan-pandangan menjadi nyata (Mcleod, 2003).
Menurut Frankl dalam Bastaman 2007, dalam pandangan para eksistensialis, tugas utama konselor adalah mengeksplorasi persoalan yang berkaitan dengan ketidakberdayaan, keputusasaan, ketidakbermaknaan, dan kekosongan eksistensial. Tugas proses terapeutik adalah menghadapi masalah ketidakbermaknaan dan membantu konseli dalam membuat makna dari dunia yang kacau.
Frankl dalam Bastaman 2007, menandaskan bahwa fungsi Konselor bukanlah menyampaikan kepada Konseli apa makna hidup yang harus diciptakannya, melainkan mengungkapkan bahwa Konseli bisa menemukan makna, bahkan juga dari penderitaan, karena penderitaan manusia bisa diubah menjadi prestasi melalui sikap yang diambilnya menghadapi penderitaan itu.
2.2.3 Intervensi Klinis dari Logoterapi
Metode penanganan atau teknik-teknik terapi yang dikembangkan oleh logoterapi, digunakan untuk mengatasi gangguan-gangguan neurosis somatogenik, neurosis psikogenik, dan neurosis noogenik. Untuk somatogenik, yakni gangguan perasaan yang berkaitan dengan ragawi, logoterapi menggunakan medical ministry, sedangkan untuk neurosis psikogenik yang bersumber dari hambatan-hambatan psikis digunakan teknik paradoxical intention dan dereflection. Pelaksanaan logoterapi bermanfaat untuk mengatasi fobia, kecemasan, gangguan obsesi kompulsif dan pelayanan medis lainnya (Crumbaugh, 2008). Morgan, 2012 menyebutkan penggunaan logoterapi pada kasus-kasus geriatri sangat bermanfaat sebagai terapi tambahan untuk mengurangi gangguan memori yang telah terjadi.
Teknik logoterapi pada remaja dengan Kanker fase terminal ditemukan sangat bermanfaat dalam mengurangi penderitaan dan dalam menemukan makna hidup. Kondisi emosional dan intervensi spiritual dalam perawatan paliatif, logoterapi menunjukkan potensi secara efektif meningkatkan kualitas hidup dan mencegah kekosongan eksistensial yang disebabkan oleh penyakit terminal pada pasien remaja dengan beban tekanan yang serius (Kyung-Ah dkk, 2009).
2.2.4 Tahapan-tahapan Logoterapi
Proses konseling pada umumnya mencakup tahap-tahap : perkenalan, pengungkapan dan penjajakan masalah, pembahasan bersama, evaluasi dan penyimpulan, serta pengubahan sikap dan perilaku. Biasanya setelah masa konseling berakhir masih dilanjutkan pemantauan atas upaya perubahan perilaku dan klien dapat melakukan konsultasi lanjutan jika diperlukan (Tomy, 2014).
Konseling logoterapi berorientasi pada masa depan (future oriented) dan berorientasi pada makna hidup (meaning oriented). Relasi yang dibangun antara konselor dengan konseli adalah encounter, yaitu hubungan antar pribadi yang ditandai oleh keakraban dan keterbukaan, serta sikap dan kesediaan untuk saling menghargai, memahami dan menerima sepenuhnya satu sama lain (Tomy, 2014).
Ada empat tahap utama didalam proses logoterapi diantaranya adalah (Tomy, 2014) :
1. Mengambil jarak terhadap gejala (distance from symptom), membantu menyadarkan penderita bahwa gejala tidak sama (identik) dengan dirinya, tetapi merupakan suatu kondisi yang dapat dikendalikan oleh penderita.
2. Modifikasi sikap (modification of attitude), membantu penderita mendapatkan pandangan baru terhadap diri sendiri serta kondisi yang dialaminya, sehingga penderita dapat menentukan sikap baru dalam menentukan arah dan tujuan hidupnya.
3. Pengurangan gejala (reducing symptoms), upaya menerapkan teknik-teknik logoterapi dalam menghilangkan gejala secara keseluruhan atau sekurang-kurangnya mengurangi dan mengendalikan gejala yang dirasakan penderita. Perubahan pada sikap selanjutnya memberikan umpan balik positif yang membantu seseorang untuk lebih terbuka dan menemukan makna baru pada situasi.
4. Orientasi terhadap makna (orientation toword meaning), membahas bersama nilai-nilai dan makna hidup yang secara potensial ada dalam kehidupan pasien, terapis dalam hal ini berperan untuk membantu pasien memperdalam, memperluas nilai-nilai yang dimiliki pasien dan menjabarkannya menjadi tujuan yang konkret dalam kehidupan pasien.
Terapis dalam membahas makna hidup ini menggunakan “Socratic dialogue”, yaitu suatu pembicaraan yang membantu pasien dalam menemukan makna hidupnya dengan menggunakan kemampuan fantasi, mimpi, pasien sendiri untuk menjadi suatu tujuan konkret dalam kehidupan pasien.
2.2.5 Teknik Logoterapi
Logoterapi untuk mengatasi manusia dengan tiga demensi (fisik, psikis dan spirit) dengan mengembangkan logoterapi. Untuk memudahkan pemahaman terhadap teknik logoterapi perlu dijelaskan dahulu suatu fenomena psikologi klinis yang disebut Anticipatory Anxienty, yakni kecemasan yang ditimbulkan oleh antisipasi individu atas suatu situasi dan atau gejala yang ditakutinya (Frankl’s dalam Wong 2002; Marshall 2011).
Frankl mencatat bahwa pola reaksi atau respon yang biasa digunakan individu untuk mengatasi kecemasan antisipatori adalah dengan pola reaksi : fight from fear, menghindari atau lari dari obyek yang ditakuti dan situasi yang menjadi sumber kecemasan; fight against obsession, mencurahkan seluruh daya dan upaya untuk mengendalikan, menahan dan melawan pikiran tentang sesuatu atau keinginan untuk melakukan sesuatu yang sifatnya memaksa (suatu dorongan yang kuat) dan aneh dalam dirinya; fight for something, melawan untuk sesuatu hasrat yang berlebihan (misal : kepuasan) yang dalam kenyataan sering disertai kecenderungan kuat untuk selalu menanti dengan penuh harapan saat sesuatu (kepuasan) itu terjadi pada dirinya. Dalam logoterapi fenomena itu disebut hyperreflection (terlalu memperhatikan kesenangan sendiri) dan hyperintention (selalu menghasrati sesuatu) yang semuanya diluar kewajaran.
Sebagai contoh hasil penelitian yang dilakukan oleh Erna dan Aris 2010, didapatkan bahwa logoterapi efektif dalam nenurunkan intensitas nyeri dan skor depresi, hampir selama 1 bulan penelitian. Hal ini dikarenakan setelah mendapatkan logoterapi dengan teknik dereflection, medical ministry dan existential analysis, durasi 15-30 menit tiap pertemuan seminggu 2 kali, pasien terbantu untuk menerima penderitaannya dengan hati lapang, sehingga dia dapat mengambil jarak dengan penderitaannya serta melihat sisi baik dari penderitaannya, yang dalam hal ini berupa nyeri kronik. Dengan demikian pasien terbantu untuk menemukan nilai-nilai baru dan mengembangkan filosofi konstruktif dalam kehidupannya.
Dari pola respon tersebut Frankl menemukan dua fakta, yakni kesenjangan yang memaksa untuk menghindari sesuatu semakin mendekatkan individu kepada sesuatu yang ingin dihindarinya, dan kesenjangan yang memaksa untuk mencapai sesuatu semakin menjauhkan individu dari sesuatu yang ingin dicapainya. Untuk mengatasi semua ini, Logoterapi mengembangkan teknik-teknik sebagai berikut:
1. Paradoxicial Intention.
Teknik Paradoxicial Intention pada dasarnya memanfaatkan kemampuan insani dalam mengambil jarak (self detachment) dan kemampuan mengambil sikap (to take a stand) terhadap keadaan diri sendiri dan lingkungannya. Selain itu, teknik ini memanfaatkan salah satu kualitas insani lainnya, yaitu rasa humor. Dalam menerapkan teknik Paradoxicial Intention penderita dibantu untuk menyadari pola keluhannya, mengambil jarak pada keluhannya itu dan menanggapinya sendiri secara humoristis (Lukas, 1998).
Teknik Paradoxicial Intention ini berusaha mengubah sikap penderita yang semula serba takut menjadi ”akrab” dengan obyek yang justru ditakutinya dengan memandang segi-segi humor dari keluhannya. Menurut Frankl dalam Guttmaun, 1996 mengatakan bahwa kesuksesan dari Paradoxical Intention mencapai keberhasilan antara 80-90% dari kasus.
Frankl dalam Bastaman 2007, memberikan sebuah contoh. Seorang dokter muda datang ke tempatnya dengan keluhan takut berkeringat. Setiap kali tubuhnya takut dia berkeringat. Ketakutan ini cukup memicu keluarnya keringat secara berlebihan. Untuk mencegah terjadinya hal ini, Frankl menyarankan agar saat tubuhnya berkeringat secara berlebihan dia menunjukkan dengan sengaja kepada orang-orang, betapa banyak keringat yang bisa dia keluarkan. Seminggu kemudian ia kembali melaporkan bahwa setiap kali dia bertemu seseorang yang bisa memicu munculnya rasa takut yang diantisipasi, dia akan berkata pada dirinya sendiri: “Biasanya saya hanya akan mengeluarkan seperempat liter keringat, tetapi saya akan mengeluarkan sedikitnya sepuluh liter keringat!” Hasilnya setelah bertahun-tahun menderita fobia, orang tersebut secara permanen terbebas dari fobianya, hanya dalam waktu satu minggu dan melalui satu kali konsultasi.
Dalam kasus-kasus fobia, teknik paradoksikal intention ini berusaha mengubah sikap penderita yang semula serba takut menjadi akrab dengan obyek yang justru ditakutinya. Sedangkan pada kasus-kasus obsesi dan kompulsi, yang biasanya penderita menahan dan mengendalikan secara ketat dorongan-dorongannya agar tidak muncul, penderita justru diminta untuk secara sengaja mengharapkan (bahkan memacu) agar dorongan-dorongannya itu benar-benar mencetus. Usaha ini benar-benar sulit dilaksanakan apabila tidak dilakukan secara humoris, dalam arti menimbulkan perasaan humor pada penderita dan memandang keluhannya sendiri secara jenaka atau secara ironis. Pemanfaatan rasa humor dalam terapi berarti membantu penderita untuk memandang gangguan-gangguannya tidak lagi sebagai sesuatu yang mencemaskan, tetapi sebagai sesuatu yang lucu (Bastaman, 2007).
Paradoxical intention bisa juga diterapkan kepada penderita insomnia. Rasa takut tidak bisa tidur memicu keinginan berlebihan untuk tidur, yang malah membuat pasien tidak bisa tidur. Untuk mengatasi ketakutan ini biasanya Frankl menganjurkan si pasien untuk mencoba tidak tidur, tetapi melakukan yang sebaliknya, artinya berusaha sedapat mungkin untuk tetap bangun. Dengan kata lain, keinginan yang sangat besar untuk tidur, yang muncul akibat rasa cemas yang diantisipasi bahwa dia tidak bisa tidur, harus diganti dengan keinginan sebaliknya untuk tidak tidur, akibatnya si pasien akan segera tertidur.
Teknik paradoksikal intension memiliki keterbatasan yaitu sulit dilakukan pada pasien yang kurang memiliki rasa humor. Selain itu, teknik ini mempunyai keterbatasan yang perlu diperhatikan, yakni mempunyai kontra indikasi dengan skizofrenia, depresi, terutama kasus depresi dengan kecenderungan bunuh diri. Maksudnya, bila teknik paradoxical intention  diterapkan pada kasus depresi dengan keinginan bunuh diri, maka kemungkinan besar justru akan mendorong penderita untuk benar-benar melakukan tindakan bunuh diri. Oleh karena itu, paradoxical intention jangan sekali-kali diterapkan untuk kasus depresi (Guttmaun, 1996).
Menurut Frankl’s dalam Marshall (2011), tindakan logoterapi paradoxical intention dalam mengatasi kecemasan harus memperhatikan sebagai berikut :
a. Mampu mengetahui penyebab dan mengeksplorasi masalah kecemasan
b. Mampu melawan kecemasan
c. Saat melakukan tindakan harus disertai dengan rasa humor dan kreatif
d. Tidak menegangkan atau harus relaks bisa dengan cara teknik relaksasi
2. Dereflection.
Teknik Dereflection pada dasarnya memanfaatkan kemampuan transendensi diri (self transcendence) yang ada dalam diri setiap orang dalam transendensi diri ini seseorang berupaya untuk keluar dan membebaskan diri dari kondisinya (berusaha untuk tidak lagi terlalu memperhatikan keluhan-keluhannya). Selanjutnya, ia lebih mencurahkan perhatiannya kepada hal-hal lain yang lebih positif, lebih bermanfaat, lebih bermakna dan berguna baginya, lalu memutuskan untuk merealisasikannya. Dengan teknik Dereflection diharapkan mampu mengubah sikap yang semula terlalu memperhatikan (kesenangan) diri sendiri (self concerned), sekarang melakukan komitmen untuk melakukan sesuatu yang penting baginya (self commited). Dereflekction tampaknya sangat bermanfaat dalam konseling bagi klien dengan preokupasi somatic, gangguan 30

tidur dan digunakan secara spesifik pada gangguan seksual seperti impotensi dan frigiditas (Schulenberg dkk, 2010; Marshall, 2011).
Misalnya pada penderita insomnia, Frankl menyarankan agar membayangkan bahwa mereka tergerak meninggalkan tempat tidur guna melakukan sesuatu yang tidak menyenangkan dan tidak disukai, misalnya membersihkan salju di pagi buta. Melalui pembayangan seperti itu mereka akan segera menjadi bosan dan akhirnya tertidur. Akan tetapi saran tersebut harus diberikan kepada pasien melalui cara positif, jangan melalui cara yang negatif. Karena cara yang negatif justru akan membuat pasien terpusat pada masalah, sedangkan cara yang positif mengajak pasien untuk memusatkan perhatiannya pada sesuatu yang positif, pada masalah lain yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian pasien diarahkan menuju penemuan makna (Bastaman, 2007).
Seorang wanita datang ke tempat Frankl dengan keluhan frigid. Riwayat masa lalunya menunjukkan bahwa saat kanak-kanak wanita ini mengalami penganiayaan seksual oleh ayahnya sendiri, wanita tersebut terus dibayangi ketakutan, bahwa suatu hari pengalamannya yang traumatis akan membawa akibat. Rasa takut yang diantisipasi ini memicu tumbuhnya keinginan berlebihan untuk menonjolkan kewanitaannya dan perhatian yang berlebihan terhadap dirinya, bukan terhadap pasangannya. Semua alasan ini cukup membuatnya tidak mampu merasakan puncak kenikmatan seksual, karena orgasme sudah dijadikan objek keinginan dan perhatian, bukan sebagai dampak samping dari sebuah dedikasi dan penyerahan spontan kepada pasangannya. Setelah menjalani logoterapi jangka pendek, perhatian dan keinginan berlebihan si pasien yang terkait dengan kemampuannya untuk merasakan orgasme berhasil dihilangkan atau di-derefleksikan. Ketika perhatiannya dialihkan terhadap objek yang layak, yaitu pasangannya, wanita itu berhasil mencapai orgasme secara spontan (Tomy, 2014).
3. Medical Ministry (Bimbingan Rohani)
Frankl, mengungkapkan bahwa dalam Logoterapi terdapat pula kasus-kasus di mana yang diperlukan sama sekali bukan terapi, melainkan sesuatu yang lain, bimbingan rohani. Dalam hidup ini sering ditemukan berbagai krisis dan peristiwa tragis yang tak terhindarkan lagi, sekalipun upaya-upaya mengatasinya secara maksimal telah dilakukan (baik menggunakan teknik Paradoxicial Intention dan Dereflection). Penyakit yang tak tersembuhkan, kelainan bawaan, kemandulan, kematian, dosa dan kesalahan, kecelakaan yang menyebabkan kecacatan, merupakan contoh peristiwa-peristiwa tragis yang dapat dialami oleh siapa pun (Guttmaun, 1996).
Mengingat kondisi-kondisi serupa itu tidak dapat dihindari, maka Logoterapi sebagai ”terapi melalui makna” (sekarang mottonya ”sehat melalui makna”) atau ”terapi berwawasan spiritual” mengarahkan para penderita untuk berusaha mengembangkan sikap (attitude) yang tepat dan positif terhadap keadaan yang tidak terhindarkan itu. Bimbingan rohani menurut Frankl tidak berurusan dengan penyelamatan jiwa (soul salvation) yang merupakan tugas para rohaniawan, tetapi berurusan dengan kesehatan rohani. Roh manusia akan tetap sehat selama ia tetap sadar akan tanggungjawabnya dalam merealisasi nilai-nilai, termasuk nilai-nilai bersikap yang ditemui individu. Melalui bimbingan rohani individu didorong ke arah merealisasi nilai-nilai bersikap, menunjukkan sikap positif terhadap penderitaannya, sehingga ia bisa menemukan makna dari penderitaannya itu. Misalnya, upaya para penderita untuk bersedia meninjau masalahnya dari sudut lain, berolah seni, mendalami agama dan lain sebagainya (Guttmaun, 1996).
4. Modification of Attitudes
Teknik logoterapi ini digunakan untuk noogenic neurosis, depresi dan kecanduan obat untuk mempromosikan dalam meningkatkan makna hidup. Modification of attitudes juga bisa digunakan untuk yang mengatasi masalah koping dan masalah pasien yang berbicara terus menerus (kacau) tanpa tujuan dan yang mempunyai perilaku yang negatif (Marshall, 2011)
Dalam kehidupan sering ditemukan berbagai pengalaman tragis yang tidak dapat dihindari lagi, sekalipun upaya-upaya penanggulangan telah dilakukan secara maksimal, tetapi tak berhasil, untuk itu logoterapi mengarahkan penderita untuk berusaha mengembangkan sikap (attitude) yang tepat dan positif terhadap kondisi tragis tersebut (Marshall, 2011).
5. Appealling Tehnique
Merupakan suatu teknik yang menggunakan gabungan antara paradoksikal intension dan derefleksi, yang didasarkan pada kekuatan sugesti terapis untuk menuntun pasien menemukan makna hidupnya. Teknik ini digunakan pada kasus-kasus dimana pasien tidak mampu lagi menemukan sendiri makna hidupnya seperti pada pasien yang terlalu muda usianya atau terlalu tua sehingga mengalami kesulitan dalam menemukan sendiri makna hidupnya (Bastaman, 2007). Dalam metode ini terapis membantu penderita neurosis noogenik dimana mereka mengalami kehampaan hidup untuk menemukan makna hidupnya sendiri dan mampu menetapkan tujuan hidupnya secara jelas. Makna hidup ini harus mereka temukan sendiri dan tak dapat ditentukan oleh siapapun, termasuk oleh logoterapi. Fungsi logoterapi hanya sekedar membantu membuka cakrawala pandangan penderita terhadap berbagai nilai sebagai sumber makna hidup, yaitu nilai kreatif, nilai penghayatan dan nilai bersikap. Disamping itu logoterapi menyadarkan mereka terhadap tanggung jawab pribadi untuk keluar dari kondisi kehampaan hidup dalam proses penemuan makna hidup ini para konselor/terapis lebih berperan sebagai rekan yang turut berperan serta (Marshall, 2011).
6. Socratic Dialogue
Socratic Dialogue adalah suatu bentuk percakapan antara terapis dan klien dimana terapis menggunakan pertanyaan ataupun kalimat-kalimat pertanyaan kepada klien dalam usahanya untuk membantu agar klien dapat menemukan sendiri jawaban terhadap permasalahn yang dihadapi saat ini. Menurut Wong (2002) dan Marshall (2011), socratic dialogue terapis harus mampu menjawab dan menemukan pikiran dari pasiennya walaupun kondisi pasien tidak terarah dalam pembicaraannya sehingga dapat menemukan arti makna hidupnya. Dalam Socratic Dialogue, terapis memberikan pertanyaan-pertanyaan dengan sedemikian rupa sehingga klien menjadi sadar akan impian-impian mereka yang ter-represi, harapan-haarapan bawah sadar dan hasrat yang terpendam (self discovery). 2 teknik yang paling utama dalam logoterapi, seperti paradoksikal intension dan derefleksi juga dilaksanakan dengan menggunakan teknik interview socratic dialogue (Bastaman, 2007).
7. Family Logoterapi
Logoterapi untuk membantu keluarga klien menemukan arti dari peluang di dalam keluarga melalui Sosial Skills Training (SST), Socratic dialogue dan Existential reflection. Menurut E. Lukas 1998, Family logoterapi berarti memusatkan kepada terapi keluarga untuk membantu keluarga memfokuskan pada makna arti dari rintangan, sebagai akibatnya anggota keluarga yang bermasalah menyadari tentang makna hidup anggota keluarganya bermasalah.
2.3 Logoterapi Diantara Aliran Psikologi Lainnya
Pada saat ini terdapat tiga aliran utama dalam psikologi, yaitu aliran psikoanalisis, behaviour dan humanistic. Logoterapi sesungguhnya bersifat melengkapi ketiga aliran diatas dengan memperluas konsep psikologi yang telah ada, dimana logoterapi memasukkan unsur spiritual sebagai dasar psikopatologi maupun sebagai dasar terapi, dimana logoterapi sendiri pada saat ini merupakan salah satu bagian dari kelompok aliran psikologi humanistic (Bastaman, 2007).
Psikologi Humanistik menganggap kepribadian manusia merupakan suatu kesatuan utuh yang terdiri dari 3 dimensi, yaitu dimensi somatis (ragawi), dimensi psikis (kejiwaan) dan dimensi spiritual (kerohanian). Memusatkan perhatian untuk menelaah kualitas-kualitas insani (human qualities), yaitu sifat-sifat dan kemampuan khusus manusia yang terpatri pada kehidupan manusia, khas dan tidak dimiliki oleh makhluk hidup lainnya. Memandang manusia adalah makhluk yang memiliki otoritas atas kehidupannya sendiri.
Untuk membedakan dari spiritualitas dalam arti agama, Viktor Frankl menyebutnya dengan dimensi noetik. Perlu dijelaskan bahwa dimensi spiritual yang dikemukankan aliran ini sama sekali bukan roh seperti dipahami agama, melainkan kemampuan transendensi dan penghayatan luhur yang khas manusia. Dimensi spiritual dianggap sebagai inti dari dimensi yang lainnya, ragawi (organo-biologi), kejiwaan (psiko-edukatif) dan sosial-budaya (sosio-kultural), yang digambarkan sebagai skema segi empat sama sisi konsentrik.
Keterangan :
Persamaan dan perbedaan yang terdapat pada logoterapi dengan aliran psikoanalisis dan aliran behavior adalah (Bastaman, 2007) :
1. Pada psikoanalisis temuan yang monumental mengenai ragam kesadaran manusia (alam sadar, prasadar, tak sadar) yang digambarkan dengan skema berlapis. Perhatian ditekankan pada dorongan alam bawah sadar yang menjadi motif tindakan dari manusia, hal ini juga menjadi suatu dasar dari logoterapi dimana penekanannya pada alam bawah sadar tetapi pada komponen yang disebut oleh Frankl sebagai “spirit”.


3 Responses to "Teori Logoterapi"