Pandangan ibnu arabi pada periode pencerahan



PANDANGAN IBNU ARABI PADA PERIODE PENCERAHAN


      KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb.
                Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “pandangan ibnu arabi pada periode pencerahan”. Dalam menyelesaikan makalah ini, kami banyak menerima bantuan dari berbagai pihak sehingga dalam waktu yang relatif singkat makalah yang sederhana ini dapat terwujud. Oleh karena itu, kami menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada semua pihak yang membantu,terutama dosen pembimbing. Semoga Allah S.W.T berkenan mencatat amal shalehnya.
Kami  sadar bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami  mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak. Dengan iringan doa semoga makalah ini bisa bermanfaat dalam pengembangan pendidikan dan wacana berpikir kita .



Lhokseumawe, 23 Mei 2018

Penulis









DAFTAR ISI





1.1 Latar Belakang Masalah

Dengan mengucapkan bismillahhirahmanirrahim. Alhamdulillah kami bisa menyusun makalah ini dan kami bisa menyiapkan materinya dengan semampu kami yaitu tentang pendapat ibnu arabi pada abad pencerahan. Era pencerahan dianggap sebagai sebuah masa di mana manusia Eropa (para intelektual dan filsuf) berusaha mewujudkan sebuah sistem pengetahuan, etika, dan estetika yang sepenuhnya dibangun berdasarkan rasionalitas yang tercerahkan. Upaya ini merupakan sebuah respon yang benih-benihnya telah disemai oleh para tokoh Renesans dan Reformasi pada abad ke-15 dan ke-16.
Dalam pencerahan, yang lebih penting adalah bagaimana manusia mampu memelihara independensi akal-pikirannya dan mampu mengontrol dirinya dari pengaruh-pengaruh pemikiran yang datang dari luar nalarnya. Pengaruh pemikiran luar tak hanya sebatas pandangan atau ide partikular saja, tapi  penting  juga sistem pemikiran yang melembaga dalam institusi-institusi publik seperti negara dan agama.
Sehingga kami pun tertarik untuk membuat sebuah makalah yang berjudul tentang pendapat ibnu arabi pada abad pencerahan.

1.2 Rumusan Masalah

1.      Bagaimana sejarah filsafat  pada abad pencerahan?
2.      Bagaimana biografi ibnu arabi?
3.      Bagaimana pendapat ibnu arabi tentang kejiwaan?

1.3 Tujuan Masalah

1.      Ingin mengetahui sejarah filsafat  pada abad pencerahan.
2.      Ingin mengetahui biografi ibnu arabi.
3.      Ingin mengetahui pendapat ibnu arabi tentang kejiwaan.
Sejarah pemikiran dan filsafat Barat kerap menganggap Immanuel Kant (w. 1804) sebagai puncak dari era Pencerahan yang terjadi di Eropa pada abad ke-18. Era Pencerahan sendiri merupakan puncak dari gelombang perubahan besar Revolusi (dalam bidang sains), Renesans (seni dan filsafat), dan Reformasi (agama) yang terjadi pada abad ke-15 dan ke-16.
Pada gilirannya, gelombang perubahan besar ini merupakan dampak langsung dari berbagai pengaruh dan interaksi budaya dan ilmu pengetahuan yang terjadi sepanjang abad ke-13 dan ke-14. Salah satu sumber yang memberikan pengaruh sangat besar bagi perubahan di Eropa adalah ilmu pengetahuan dan pemikiran filsafat yang datang dari dunia Islam.
Tulisan ini ingin menyoroti salah satu tokoh penting filsuf Muslim yang memberikan kontribusi sangat besar bagi gerakan renesans dan pencerahan di Eropa. Ibn Rushd atau yang lebih dikenal dengan Averroes (w. 1198) adalah inspirasi bagi gerakan renesans awal di Eropa. Ia memainkan peranan penting dalam mempromosikan independensi akal-pikiran, sebuah doktrin yang oleh Immanuel Kant kemudian dianggap sebagai inti dari aufklarung (pencerahan).
Apa Itu Pencerahan?
Era pencerahan dianggap sebagai sebuah masa di mana manusia Eropa (para intelektual dan filsuf) berusaha mewujudkan sebuah sistem pengetahuan, etika, dan estetika yang sepenuhnya dibangun berdasarkan rasionalitas yang tercerahkan. Upaya ini merupakan sebuah respon yang benih-benihnya telah disemai oleh para tokoh Renesans dan Reformasi pada abad ke-15 dan ke-16.
Kaum ensiklopedis seperti Diderot dan Voltaire meyakini bahwa ilmu pengetahuan dan pendidikan adalah cara terbaik untuk mengatasi keyakinan-keyakinan akan mitos, takhayul, dan kebodohan. Para aktivis Pencerahan kerap memandang diri mereka sebagai intelektual bebas yang mendorong dunia ke arah kemajuan dan perubahan yang lebih baik. Dalam sebuah artikelnya berjudul Was ist Aufklärung? (Apa Itu Pencerahan?), Immanuel Kant, salah seorang tokoh penting Pencerahan, memberikan definisi yang cukup jelas. Menurutnya pencerahan adalah:
keluarnya manusia dari ketidakmatangan yang diciptakannya sendiri. Sedangkan ketidakmatangan adalah ketidakmampuan seseorang untuk menggunakan akal-pikirannya tanpa bantuan orang lain. Ketidakmatangan semacam ini terjadi bukan karena kurangnya daya pikir, tapi karena kurangnya determinasi dan keberanian untuk menggunakan pemahaman sendiri. Motto pencerahan, dengan demikian, adalah Sapere aude! Beranilah menggunakan pemahaman sendiri! (Kant, What is Enlightenment?, 1990).
Dari definisi ini, kita melihat bahwa Kant menganggap pencerahan bukan semata-mata kondisi intelektual di mana seseorang merasa terbebaskan untuk berpikir dan bertindak, tapi yang terpenting adalah bahwa pencerahan itu berarti kematangan berpikir dan sanggup untuk melakukannya sendiri tanpa bantuan orang lain. Yang dimaksud “bantuan orang lain” di sini adalah penggunaan otoritas luar secara berlebihan sehingga menghalangi seseorang untuk berpikir secara independen. Inti dari pencerahan bukanlah pemikiran itu sendiri, tapi bagaimana seseorang berani untuk menggunakan akal-pikirannya (sapere aude!).
Seperti bisa dilihat, selain menekankan pada kata “keluarnya” (ausgang), Kant juga memberikan penekanan pada “ketidakmatangan” (unmündigkeit) dan “determinasi dan keberanian” (entschließung und mut), yang merefleksikan dua karakter berbeda dari sifat manusia.
Semangat pencerahan, seperti digambarkan oleh para ensiklopedis Perancis, adalah semangat rasionalitas dan ilmu pengetahuan murni. Penggunaan akal bebas ditekankan sebesar-besarnya yang oleh Kant kemudian diberikan prasyarat tambahan, yakni keberanian.
Menurut saya, prasyarat tambahan ini lebih penting dari kualitas akal-pikiran sendiri. Tanpa keberanian, akal-pikiran menjadi kurang berguna karena ia akan menjadi agen pelestari dari otoritas pemikiran “lain” di masa silam.
Dalam pencerahan, yang lebih penting adalah bagaimana manusia mampu memelihara independensi akal-pikirannya dan mampu mengontrol dirinya dari pengaruh-pengaruh pemikiran yang datang dari luar nalarnya. Pengaruh pemikiran luar tak hanya sebatas pandangan atau ide partikular saja, tapi juga --dan ini saya kira yang lebih penting-- sistem pemikiran yang melembaga dalam institusi-institusi publik seperti negara dan agama.
         
Nama lengkap beliau adalah Muhammad bin ali bin Muhammad bin Ahmad
bin Abdullah al-Hatimi3 yang kemudian dikenal dengan Ibn ‘Arabi. Bahagian Timur. beliau dikenal dengan nama al-Hatimi dan Ibn ‘Arabi sedangkan di belahan Barat dikenal dengan Ibn al-‘Arabi. Lain halnya di tanah kelahirannya beliau lebih dikenal dengan panggilan Ibn Suraqah. Lahir pada tanggal 17 Ramadan tahun 560 H bersamaan dengan 1165 M di daerah Mursiyah bahagian utara Andalusia, sebuah keluarga keturunan Arab yang termasuk dalam kabilah Ta’i.4 Ibnu ‘Arabi berasal dari keluarga berpangkat, hartawan dan ilmuwan di Mercia, Andalusia Tenggara. Ketika ia berumur 8 tahun bersama keluarganya pindah ke Sevilla, tempat dimana ia mulai belajar Al-qur’an dan fikih.
Sevilla adalah pusat sufisme yang penting di samping sebagai pusat ilmu pengetahuan. Keberhasilannya dalam dunia pendidikan mengantarkannya kepada sekretaris gubernur Sevilla. Pada periode ini Ia menikah dengan wanita yang shalehah (Maryam). Suasana kehidupan guru-guru sufi dan andil istrinya adalah faktor yang mempercepat ia menjadi seorang sufi. Ibnu ‘Arabi pada usia 20 tahun memasuki jalan sufi (tarekat) secara formal. Dalam usianya yang muda itu, sering melakukan perjalanan ke berbagai tempat di Spanyol dan Afrika Utara, dan ia berkunjung ke Cordova bertemu dengan filosof muslim Ibnu Rusyd dan tabib dinasti Barbar dari Alomohot. Bagaikan minum air laut, semakin diminum semakin haus, barang kali pepatah ini sesuai ditujukan kepada Ibn ‘Arabi, beliau belum merasa puas dengan ilmu yang dimiliki, semakin hari semakin merasa kekurangan terhadap ilmu pengetahuan dan semakin hari semakin kuat keinginannya untuk menimba ilmu pengetahuan lebih dalam lagi.
Dalam fikirannya ilmu pengetahuan merupakan segala-galanya, hal ini yang menyababkan timbulnya satu tekad bagi dirinya untuk mengembara meninggalkan kampung halaman, mencari anak-anak kunci di berbagai tempat yang akan dipergunakan untuk membuka gudang-gudang ilmu ilmu pengetahuan. Sebelum memulai pengembaraan, beliau telah mempersiapkan mental untuk menghadapi onak dan duri serta pahit getirnya sebagai seorang pengambara. Pendekatan diri beliau kepada sang maha Pencipta semakin diperkuat dan beliau pun memulai hidup sebagai seorang sufi.
Beliau melakukan perjalanan berpindah dari satu tempat ke tempat lain untuk memperoleh dan menambah ilmu serta pengalaman lebih banyak lagi dengan tiga tahapan. Beliau mengakhiri pengembaraannya di Damsik. Di kota ini beliau menghabiskan sisi-sisa kehidupannya setelah malang melintang mengadakan pengembaraan demi mencari setitik ilmu yang dapat mengobati kehausan dan memperoleh kepuasan. Pada malam jumat 28 Rabi’ul akhir tahun 638 H beliau dipanggil yang Maha Kuasa kembali menghadap Ilahi dengan usia 78 tahun. Beliau pergi yang tidak akan kembali lagi meninggalkan semua yang ada diduni ini. Jasadnya yang sudah membeku, membisu seribu bahasa dimakamkan di kaki gunung Qasiyun di pekuburan pribadi Qadi Muhyi.7 Meskipun jasadnya telah kembali keasalnya, mulutnya tidak pernah bicara lagi tangannya telah berhenti menggoreskan tinta,namun karyanya masih tetap berbicara, semua usaha dan jerih payahnya masih dapat dinikmati hingga saat ini tetap hidup dihati.
Di antara karya-karya Ibnu ‘Arabi yang masyhur bagi kalangan pemikir-pemikir muslim adalah sebagai berikut:
                                       

2.3 Pendapat Ibnu Arabi Tentang Kejiwaan

Menurut Ibnu Arabi, “jiwa” atau “imajinasi” merujuk pada wilayah tengah yang tidak bercahaya dan tidak gelap, tidak hidup juga tidak mati, tidak cerdas juga tidak bodoh, sadar juga tidak sadar, namun selalu berada di antara dua titik ekstrim tersebut. Setiap jiwa menunjukkan gabungan antara berbagai kualitas yang unik tersebut dan merupakan kemungkinan yang unik untuk mendaki menuju kesempurnaan. Namun setiap jiwa mungkin juga turun ke dalam keseberagaman dan kegelapan, yang kemudian menjadi musnah tersebar dan melampaui keadaan di bawah derajat manusia. Jiwa berada di tengah antara wilayah imajinasi dan ambiguitas, gabungan dan kebingungan.

Istilah imajinasi merujuk pada seluruh realitas antara yang terbesar, yakni kosmos secara keseluruhan atau Nafas Yang Maha Pengasih. Kosmos berada di tengah antara wujud absolut dan ketiadaan absolut. Kosmos berdiri di antara alam dan al-Haqq dan antara wujud dan non-eksistensi. Kosmos bukanlah makhluk di berbagai sisinya, juga bukan al-Haqq sepenuhnya. Menurut pengertian lebih luas, imajinasi merujuk pada wilayah jiwa, suatu tingkatan wujud dan kesadaran yang terdapat di antara ruh dan tubuh. Jiwa memiliki keinsafan dan kesadaran, namun kesadaran ini tidak dapat meninggalkan ambiguitas yang merupakan salah satu substansinya.

Ambiguitas dan kemenengahan adalah milik suatu kosmik (imajinasi). Ibnu Arabi menulis tentang kosmos, “Segala sesuatu selain Esensi Tuhan berada di stasiun transmutasi, cepat atau lambat. Segala sesuatu selain Esensi Tuhan dirasuki oleh inajinasi dan bayangan yang mudah sirna, mengalami transformasi dari bentuk menuju bentuk tetap dan selamanya. Maka kosmos hanya akan menjelma di dalam imajinasi”. Manusia dan kosmos adalah serupa, bahwa masing-masing diciptakan menurut bentuk Tuhan. Namun kosmos mencerminkan nama-nama Tuhan menurut mode yang berbeda (tafshil). Karena manusia adalah bagian dari kosmos, maka kosmos bukanlah bentuk Tuhan yang lengkap tanpa manusia. Akan tetapi, mikrokosmos dan makrokosmos berada pada kutub yang sama. Makrokosmos penyebarannya tidak terbatas, tidak sadar, dan pasif. Namun, mikrokosmos adalah terpusatnya semua atribut Tuhan secara intens, sadar, dan aktif.

Manusia mengenal kosmos dan dapat membentuknya menururt tujuan mereka, namun kosmos tidak mengetahui manusia dan tidak dapat membentuk merekasepanjang kosmos merupakan instrumen pasifdi dalam kekuasaan Tuhan.

        Ibnu Arabi menjelaskan hubungan antara wujud dan entitas yang merujuk pada cahaya dan bayangan. Kemudian dia mengidentifikasi domain bayangan dengan konsep imajinasi tersebut, sejak itu bayangan dikenali dari dua sisinya –cahaya dan entitas abadi. Ketika imajinasi digambarkan sebagai suatu realitas dalam mikrokosmos manusia, istilah tersebut digunakan dalam dua pengertian yang sangat berdekatan. Dalam pengertian pertama, imajinasi adalah jiwa. Imajinasi adalah diri manusia yang bertindak sebagai penengah antara cahaya dan ruh ilahi yang bersifat imaterial dengan gelap dan tubuh yang bodoh. Jika jiwa itu bercahaya dengan gelap, tugas manusia adalah untuk memperkuat cahaya spiritual dan memperlemah kegelapan jasadiyah. Ruh adalah realitas tunggal sementara tubuh memiliki banyak bagian. Oleh karena itu, penguatan terhadap dimensi spiritual jiwa ini sama halnya dengan bergerak menuju kesatuan dan integrasi.

       Dalam pengertian mikrokosmos yang kedua, imajinasi bersesuaian kurang lebih terhadap kemampuan mental. Ini adalah suatu kekuatan spesifik dari jiwa yang mejembatani antara dunia spiritual dengan fisikal. Ibnu Arabi menekankan fakta bahwa sebutan dunia ini “bagaikan impian” hanya dapat berarti sebuah mimpi, dunia, dan segala sesuatu di dalamnya perlu penafsiran.

       Ibnu Arabi mengungkapkan intuisi dasar mengenai Tauhid—bahwa segala kualitas nyata bukanlah apa-apa melainkan refleksi dariwujud—dalam banyak cara, seperti halnya ketika dia merujuk pada kosmos secara keseluruhan sebagai “imajinasi”. Alam semesta dan segala isinya bergantung di antara Realitas yang sebenarnya dan ketiadaan non-makhluk; alam semesta beserta isinya itu adalah Tuhan sekaligus bukan Tuhan, Dia/ bukan Dia.

v  Etika Ibnu Arabi

         Di dalam bahasa Arab, kata akhlaq adalah bentuk jamak darikhuluq, yang berarti “karakter” dan “karakter dasar bawaan”. Katakhuluq  disebut dua kali dalam al-Qur’an dan berulang-ulang dalam Hadits. Kata ini hanya dibedakan oleh pengucapan (bukan cara penulisan) dari istilah khalq, yang secara tipikal diterjemahkan sebagai “ciptaan”. Oleh karena itu, kata khuluq sangat terkait dengan khalq, yakni katakanlah bahwa karakter berakar dalam ciptaan, atau sifat alami dari sesuatu.[10] Akhlak, sebuah kata yang biasanya diterjemahkan dengan “etik”.

         Dalam pandangan Islam oleh Ibnu Arabi, akhlak yang terpuji sebenarnya milik Tuhan dan hanya secara metaforis ditujukan pada sesuatu yang lain. Segala sesuatu yang baik datang dari Tuhan. Setelah diciptakan menurut bentuk Tuhan, manusia dianugerahi dengan semua akhlak terpuji Tuhan. Keterpujian akhlak pada praktiknya tidak semudah membalik tangan. Hanya manusia sempurna yang benar-benar mampu mengakulturasikan akhlak mulia Tuhan. Hanya manusia yang telah mencapai kesempurnaan saja yang benar-benar dapat dikatakan tercipta menurut bentuk Tuhan. Di dalam diri merekalah nama-nama Tuhan memperlihatkan sifat-sifat dengan tingkatan penuh seluas mungkin di dalam mode manifestasi tertentu yang terakulturasi pada saat itu.

      Ibnu Arabi menganggap asal-muasal akhlak terkutuk langsung dari Tuhan, namun itu tidak berarti bahwa keterkutukan merupakan akhlak dasar yang dinisbatkan kepada manusia. Kenyataannya, Arabi mengatakan, apa yang kita sebut tercela dan akhlak terkutuk pada dasarnya mulia dan terpuji. Akhlak manusia tidak berbeda dari apapun yang lain. Mereka juga tidak pernah dapat secara absolut terpuji atau tercela. Agaknya, mereka dikondisikan oleh kondisi-kondisi di mana orang itu berada. Oleh karena itu, jika kondisi-kondisi tersebut berubah menurut cara yang wajar, akhlak tidak akan lagi disebut “tercela” namun “mulia”, sekalipun kualitas-kualitas pasti yang sama mewujudkan dirinya sendiri. Arabi menjelaskan sifat situasional dari berbagai etika ketika menjelaskan bagaimana lima perintah dari syari’ah diterapkan terhadap sesuatu dan aktivitas-aktivitas tertentu.

      Kemudian manusia sempurna akan dengan penuh kesadaran melakukan penghambaan di hadapan Dzat Yang Maha Pengasih. Mereka menerima sumber setiap sifat yang ada dalam diri mereka dan yang lain, dan mereka menyaksikan penyifatan semua akhlak kepada Allah melalui rasa (Dzauq) dan penyingkapan, bukan hanya melalui pemahaman rasional. Mereka memasrahkan (Islam) diri mereka semata-mata kepada wujud dan memberikan setiap akhlak khusus yang mereka gunakan untuk menyebut diri mereka sendiri.

v  Wahdatul Adyan Ibnu Arabi

      Sikap yang seharusnya kita munculkan terhadap perbedaan adalah toleransi antarsesama umat, menghindari diskriminasi, terutama terhadap umat minoritas, dan menjalin hubungan yang harmonis. Meskipun agama itu berbeda, sebenarnya memiliki titik persamaan, yakni menyembah terhadap Tuhan yang sesungguhnya sama. Namun, pendapat seperti ini justru dianggap sesat dan menghancurkan keyakinan atau akidah umat.

      Adapun perbedaan bentuk agama, dengan kata lain pluralisme agama, ini disebabkan tajalli (penampakan) Tuhan yang beragam. Dengan demikian, perbedaan, keberagaman, bahkan pertentangan di antara agama-agama sesungguhnya terjadi karena interaksi antara tajalli Tuhan dengan respons manusia. Dalam hal ini, tajalli bukan satu-satunya penyebab perbedaan, karena faktor respons juga tak dapat diabaikan dalam mempertegas perbedaan yang berdasar kapasitas dan pengetahuan. Konsep tajalli menjadi keseluruhan bangunan pemikiran Ibnu 'Arabi dan teorinya. Konsep ini bermula dari pandangan bahwa Tuhan menciptakan alam agar dapat melihat diri-Nya dan memperkenalkan diri-Nya melalui alam. Alam adalah cermin bagi Tuhan. Melalui cermin itulah Dia mengenal dan memperkenalkan wajah-Nya. Maka, dalam pandangan Ibnu 'Arabi, Tuhan adalah "harta yang tersembunyi" yang tidak dapat dikenal kecuali melalui alam.

      Ibnu Arabi menarik kesimpulan praktis bahwa Tuhan bisa disembah dengan berbagai cara dan bahwa semua agama adalah benar. Segala sesuatu menjadi manifestasi Subsansi Ketuhanan, Tuhan bisa disembah dalam bintang, anak sapi, atau obyek lainnya. Karenanya mesti ada toleransi menyeluruh terhadap semua agama. Ibnu Arabi berkata, “Setiap orang memuja apa yang diyakininya, Tuhannya adalah ciptaannya sendiri, dan ketika memujanya berarti dia juga memuja dirinya sendiri. Akibatnya dia menyalahkan keimanan orang lain. Jika saja dia bersikap adil, sebenarnya dia tidak perlu menyalahkan, tetapi rasa tidak suka itu memang berdasar pada kebodohan”.

     Inilah sebuah ajaran mengagumkan dari Ibnu Arabi dan jika ajaran ini diikuti dengan praktiknya maka manusia akan terhindar dari kesengsaraan.

A.    Pengertian dan Hakikat Insan Kamil
Insan kamil ialah manusia yang sempurna dari segi wujud dan pengetahuannya. Kesempurnaan dari segi wujudnya ialah karena dia merupakan manifestasi sempurna dari citra Tuhan, yang pada dirinya tercermin nama-nama dan sifat Tuhan secara utuh. Adapun kesempurnaan dari segi pengetahuannya ialah karena dia telah mencapai tingkat kesadaran tertinggi, yakni menyadari kesatuan esensinya dengan Tuhan, yang disebut makrifat.8 Ibn Arabi memandang insan kamil sebagai wadah tajalli Tuhan yang paripurna. Pandangan demikian didasarkan pada asumsi, bahwa segenap wujud hanya mempunyai satu realitas. Realitas tunggal itu adalah wujud mutlak yang bebas dari segenap pemikiran, hubungan, arah dan waktu. Ia adalah esensi murni, tidak bernama, tidak bersifat dan tidak mempunyai relasi dengan sesuatu. Kemudian, wujud mutlak itu ber-tajalli secara sempurna pada alam semesta yang serba ganda ini. Tajalli tersebut terjadi bersamaan dengan penciptaan alam yang dilakukan oleh Tuhan dengan kodrat-Nya dari tidak ada menjadi ada.
Bagi para sufi, alam dunia adalah cermin dan sifat-sifat Tuhan dan nama-nama
indah-Nya (al-asma’ al-husna). Masing-masing tingkat eksistensi yaitu mineral, tumbuhan dan hewan dipandang mencerminkan sifat-sifat tertentu Tuhan. Di tingkat mineral, misalnya, keindahan Tuhan tercermin sampai batas tertentu, dalam batubatuan atau logam mulia. Demikian juga dalam dunia tumbuh-tumbuhan ribuan jenis bunga-bunga dengan aneka warnanya yang unik dan serasi tidak henti-hentinya mengilhami para penyair dengan inspirasi yang sangat mengesankan. Begitu pula, pesona yang diberikan oleh berbagai jenis hewan yang sangat beraneka bentuk dan posturnya. Tetapi dari semua makhluk yang ada di alam dunia, tidak ada yang bisa mencerminkan sifat-sifat Tuhan secara begitu lengkap kecuali manusia. Ini karena manusia sebagai mikrokosmos yang terkandung di dalamnya seluruh unsur kosmik, bisa mencerminkan seluruh sifat Ilahi dengan sempurna, ketika ia telah mencapai tingkat kesempurnaannya, yang disebut insan kamil, manusia sempurna, atau manusia universal.
Kesempurnaan insan kamil itu pada dasarnya disebabkan karena pada dirinya Tuhan ber-tajalli secara sempurna melalui hakikat Muhammad (al-haqiqah al- Muhammadiyah). Hakikat Muhammad (nur Muhammad) merupakan wadah tajalli Tuhan yang sempurna dan merupakan makhluk yang paling pertama diciptakan oleh Tuhan. Jadi, dari satu sisi, insan kamil merupakan wadah tajalli Tuhan yang paripurna, sementara disisi lain, ia merupakan miniatur dari segenap jagad raya, karena pada dirinya terproyeksi segenap realitas individual dari alam semesta, baikm alam fisika maupun metafisika. Hati insan kamil berpadanan dengan arasy Tuhan, “ke-Aku-an”nya sepadan dengan kursi Tuhan, peringkat rohaninya dengan sidratul muntaha, akalnya dengan pena yang tinggi, jiwanya dengan lauh mahfuz, tabiatnya dengan elemen-elemen, kemampuannya dengan hayula, tubuhnya dengan haba’ dan lain-lain.12 Bani Adam secara potensial adalah insan kamil, meski hanya di kalangan para nabi dan wali saja potensi itu menjadi aktual. Allah berfirman dalam QS al-
Isrá/17:70.
Terjemahan:
Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam. Kami angkut mereka di daratandan lautan. Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (Qs. al-Isra’:70)
Al-Jili membagi insan kamil atas tiga tingkatan:
ü  Tingkat pertama disebutnyasebagai tingkat permulaan (al-bidayah). Pada tingkat ini insan kamil mulai dapat merealisasikan asma dan sifat-sifat Ilahi pada dirinya.
ü  Tingkat kedua adalah tingkat menengah (at-tawasut). Pada tingkat ini insan kamil sebagai orbit kehalusan sifatkemanusiaan yang terkait dengan realitas kasih Tuhan (al-haqaiq ar-rahmaniyah). Sementara itu, pengetahuan yang dimiliki oleh insan kamil pada tingkat ini juga telah meningkat dari pengetahuan biasa, karena sebagian dari hal-hal yang gaib telah dibukakan Tuhan kepadanya.
ü  Tingkat ketiga ialah tingkat terakhir (al-khitam). Pada tingkat ini insan kamil telah dapat merealisasikan citra Tuhan secara utuh. Di samping itu, ia pun telah dapat mengetahui rincian dari rahasia penciptaan takdir.

Dengan demikian pada insan kamil sering terjadi hal-hal yang luar biasa.14 Akan tetapi, insan kamil yang muncul dalam setiap zaman, semenjak Adam a.s. tidak dapat mencapai peringkat tertinggi, kecuali Nabi Muhammad saw. Al-Qur’an surat al-Ahzab : 21
Terjemahan:
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Qs. al-Ahzab: 21).
Jadi setiap manusia secara potensial merupakan citra Tuhan, pada insan kamil potensi itu menjadi aktual, karena pada dirinya termanifestasi nama-nama dan sifat Tuhan. Tetapi citra itu belum sempurna sampai ia menyadari kesatuan esensialnya dengan Tuhan. Setiap insan kamil adalah sufi, karena kesadaran seperti itu hanya bisa diperoleh di dalam tasawuf.

B. Proses Munculnya Insan Kamil
Munculnya insan kamil dapat ditelusuri melalui dua sisi:
Pertama melalui tahap tajalli Tuhan pada alam sampai munculnya insan kamil. Tajalli Tuhan dalam pandangan Ibn Arabi mengambil dua bentuk:
§  tajalli gaib atau tajalli żati
 berbentuk penciptaan potensi Tajalli żati, menurut Ibn Arabi, terdiri dari dua martabat: pertama martabat ahadiyah dan kedua martabat wahīdiyah. Pada martabat ahadiyah, Tuhan merupakan wujud tunggal lagi mutlak, yang belum dihubungkan dengan kualitas (sifat) apapun, sehingga ia belum dikenal oleh siapapun. Esensi Tuhan pada peringkat ini, begitu kata Ibn Arabi, hanya merupakan totalitas dari potensi (quwwah) yang berada dalam kabut tipis (al-‘ama’) yakni awan tipis yang membatasi “langit” ahadiyah dan “bumi” keserbagandaan makhluk, yang identik dengan nafs ar-Rahman (nafas Tuhan yang Maha Pengasih). Wujud Tuhan dalam martabat ahadiyah masih terlepas dari segala kualitas dan pluralitas apapun: tidak terkait dengan sifat, nama, rupa (rasm), ruang, waktu, syarat, sebab dan sebagainya. Ia betul-betul transenden atas segala-galanya. Didalam transendensi-Nya itu, ia ingin dikenal oleh yang selain dari diri-Nya, maka diciptakan-Nya makhluk. Dari martabat ahadiyah tajalli Tuhan akan berlanjut pada martabat-martabat di bawahnya sampai pada martabat dimana Tuhan dapat dikenal oleh makhluk. Pada martabat wahidiyah Tuhan memanifestasikan diri-Nya secara ilahiah yang unik di luar batas ruang dan waktu dalam citra sifat-sifat-Nya. Sifat-sifat tersebut terjelma dalam asma Tuhan. Sifat-sifat dan asma itu merupakan satu kesatuan dengan hakikat alam semesta yang berupa entitas-entitas laten (‘a’yan sabitah). Bila sifat-sifat dan nama-nama itu dipandang dari aspek ketuhanan, ia disebut asma’ ilahiyah (nama-nama ketuhanan), bila dipandang dari aspek kealaman (makhluk), ia disebut asma’ kiyaniyah (nama-nama kealaman). Aspek kedua, meski dipandang satu dengan aspek pertama, ia juga merupakan tajalli dari aspek pertama, karena pada asma’ kiyaniyah itu asma Tuhan mengambil bentuk entitas (‘ain). Oleh karena itu, setiap kali asma ilahi muncul, ia senantiasa berpasangan dengan asma’ kiyaniyah sebagai wadah tajallinya.
Ibn Arabi menjelaskan:
“Tatkala (Allah) menghendaki adanya alam terjadilah dari iradat suci itu suatu hakikat yang disebut habâ’ (materi prima). Kemudian Allah subhanahu ber-tajalli dengan nur-Nya pada habâ’ itu, yang oleh ahli pikir disebut al-hayûla al-kull (materi universal), yang alam semesta ini secara potensial dan serasi berada di dalamnya. Segala sesuatu dalam habâ’ itu menerima (nur) Allah menurut potensi dan kesediaannya masing-masing, seperti sudut-sudut sebuah rumah menerima sinar lampu, yang lebih dekat kepada nur itu lebih terang dan lebih banyak menerimanya. Tiada yang lebih banyak menerimanya di dalam habâ’ itu daripada hakikat Muhammad s.a.w., yang wujudnya dari nur ilahi itu, dari habâ’ dan dari realitas
universal.”
§  kedua tajalli syuhudi (penampakan diri secara nyata)
Mengambil bentuk pertama, secara intrinsik hanya terjadi di dalam esensi Tuhan tersendiri. Oleh karena itu, wujudnya tidak berbeda dengan esensi Tuhan itu sendiri karena ia tidak lebih dari suatu proses ilmu Tuhan di dalam esensi-Nya sendiri, sedangkan tajalli dalam bentuk kedua ialah ketika potensi-potensi yang ada di dalam esensi mengambil bentuk aktual dalam berbagai fenomena alam semesta.  
Adapun yang pertama kali muncul pada tajalli syuhudi ialah al-jism al-kulli (jasad universal) sebagai penampakan lahir dari nama Tuhan az-Zahir (Yang Maha Nyata). Kemudian “jasad universal” tersebut mengambil bentuk asy-syakl al-kulli (bentuk universal) sebagai efek dari tajalli Tuhan dengan nama-Nya al-Hakīm (Yang Maha Bijaksana). Selanjutnya Tuhan dengan nama-Nya al-Muhith (Yang Maha Melingkupi), asy-Syakur (Yang Maha Melipatgandakan pahala), al-Gani (Yang Maha Kaya) dan Al-Muqtadir (Yang Maha Memberi Kekuasaan) masing-masing menampakkan diri pada arasy (singgasana) Tuhan, kursi, falak al-buruj (falak bintangbintang), dan falak al-manazil (falak berorbit). Setelah falak al-manazil, secara berturutturut muncul langit pertama hingga langit keenam dan langit dunia. Kemudian muncul pula eter, api, udara, air, tanah, mineral, tumbuh-tumbuhan, hewan, malaikat, jin, manusia dan insan kamil. Masing-masing merupakan tajalli dari nama-nama Tuhan: ar-Rabb (Yang Maha Mengatur), al-Alim (Yang Maha Mengetahui), al-Qahir (Yang Maha Perkasa), an-Nur (yang bersinar), al-Musawwir (yang membentuk rupa), al Muhsī (yang mencatat), al-matīn (Yang Maha Kokoh), al-Qabid (yang membatasi), al- Hayy (Yang Maha Hidup), al –Muhyi (Yang Menghidupkan), al-Mumit (Yang Mematikan), al-Aziz (Yang Maha Mulia), ar-Razzaq (Yang Memberi rezki), al-Mużill (Yang Menghina), al-Qawī (Yang Maha Kuat), al-Latīf (Yang Maha Halus), al-Jami’ (Yang Menghimpunkan), Rafi’ ad-Darajat (Yang Maha tinggi derajatnya). Pada
peringkat insan kamil itu sempurnalah tajalli Tuhan pada makhluk, karena pada insan kamil telah termanifestasi segenap sifat dan asma-Nya.
Dari pembahasan di atas kelihatan bahwa hubungan antara tajalli bentuk
pertama dan yang sesudahnya merupakan suatu bentuk peralihan dari sesuatu yang potensial kepada yang aktual dan ini terjadi secara abadi, karena tajalli ilahi tidak pernah berhenti pada suatu batas perhentian. Tujuannya ialah agar Tuhan dapat dikenal lewat nama-nama dan sifat-sifat-Nya pada alam semesta. Akan tetapi alam semesta ini berada dalam wujud yang terpecah-pecah, sehingga tidak dapat menampung citra Tuhan secara utuh, hanya pada manusia citra Tuhan dapat
tergambar secara sempurna, yaitu pada insan kamil.
 Kedua melalui maqamat (peringkat-peringkat kerohanian) yang dicapai oleh seseorang sampai pada kesadaran tertinggi yang terdapat pada insan kamil.
Martabat insan kamil ini baru dapat dicapai setelah melalui beberapa maqâm (tingkat-tingkat kerohanian, jamaknya: maqamat). Dalam perjalanan melalui tingkat-tingkat kerohanian itu sufi akan mengalami beberapa keadaan batin (hal, jamaknya: ahwal). Maqamat adalah tahap-tahap perjalanan spiritual yang dengan gigih diusahakan oleh para sufi untuk memperolehnya. Perjuangan ini pada hakikatnya merupakan perjuangan spiritual yang panjang dan melelahkan untuk melawan hawa nafsu, termasuk ego manusia yang dipandang berhala terbesar dan karena itu kendala menuju Tuhan. Kerasnya perjuangan spiritual ini misalnya dapat dilihat dari kenyataan bahwa seorang sufi kadang memerlukan waktu puluhan tahun hanya untuk bergeser dari satu stasiun ke stasiun lainnya. Sedangkan “ahwal” sering diperoleh secara spontan sebagai hadiah dari Tuhan. Di antara ahwal yang sering disebut adalah takut, syukur, rendah hati, takwa, ikhlas, gembira. Meskipun ada perdebatan di antara para penulis tasawuf, namun kebanyakan mereka mengatakan bahwa ahwal dialami secara spontan, berlangsung sebentar dan diperoleh tidak berdasarkan usaha sadar dan perjuangan keras seperti halnya maqamat, melainkan sebagai hadiah berupa kilatan-kilatan ilahi (Divine Flashes), yang biasa disebut “lama’at.”20 Barwa Ahmad Tabanah berkata dalam Muqadimah Ihya’ Ulumudin karya al-Ghazali:
 “Seperempat bagian yang menyelamatkan (maqamat) dalam bab khauf (takut), raja’(berharap), sabar, syukur, kefakiran, zuhud, tauhid, tawakal, cinta, rindu, mesra, dan rida.
Al-Kalabadzi menyebutkan 10 maqamat yaitu: tobat, zuhud, sabar, kefakiran, rendah hati, tawakal, rida, cinta dan makrifat.22Tahap-tahap puncak yang dicapai oleh sufi dalam perjalanan spiritualnya itu ialah ketika ia mencapai maqam makrifat dan mahabbah. Makrifat dimulai dengan mengenal dan menyadari jati diri. Dengan mengenal dan menyadari jati diri, niscaya sufi akan kenal dan sadar terhadap Tuhannya. Kesadaran akan eksistensi Tuhan berarti mengenal Tuhan sebagai wujud hakiki yang mutlak, sedangkan wujud yang selain-Nya adalah wujud bayangan yang bersifat nisbi. Wujud bayangan, sebenarnya hanya image belaka, sehingga yang benar-benar ada ialah wujud Tuhan. Setelah menempuh segala maqam sampailah sufi kepada keadaan fana’ dan baqa’. Dalam keadaan demikian, insan kembali kepada wujud asalnya, yakni wujud mutlak. Fana’ adalah sirnanya kesadaran manusia terhadap segala alam fenomena, dan bahkan terhadap nama-nama dan sifat-sifat Tuhan (fana’ ‘an sifat al-haqq), sehingga yang betul-betul ada secara hakiki dan abadi (baqa’) di dalam kesadarannya ialah wujud mutlak. Untuk sampai kepada keadaan demikian, sufi secara gradual, harus menempuh enam tingkat fana’ yang mendahuluinya, yaitu:
ü  Fana’ ‘an al-Mukhalafat (sirna dari segala dosa). Pada tahap ini sufi memandang bahwa semua tindakan yang bertentangan dengan kaidah moral sebenarnya berasal dari Tuhan juga. Dengan demikian, ia mulai mengarah kepada wujud tunggal yang menjadi sumber segala-galanya. Dalam tahap ini sufi berada dalam hadrah an-nur al-mahd (hadirat cahaya murni). Jika seseorang masih memandang tindakannya sebagai miliknya yang hakiki, ini menandakan ia masih berada pada hadrah az-zulmah al-mahd (hadirat kegelapan murni).
ü  Fana’ ‘an af’al al-‘ibad (sirna dari tindakan-tindakan hamba). Pada tahap sufi menyadari bahwa segala tindakan manusia pada hakikatnya dikendalikan oleh Tuhan dari balik tabir alam semesta. Dengan demikian sufi menyadari adanya “satu agen mutlak” dalam alam ini, yakni Tuhan.
ü  Fana’ ‘an sifat al-makhluqin (sirna dari sifat-sifat makhluk). Pada tahap ini sufi menyadari bahwa segala atribut dan kualitas wujud mumkin (contingent) tidak lain adalah milik Allah. Dengan demikian, sufi menghayati segala sesuatu dengan kesadaran ketuhanan, ia melihat dengan penglihatan Tuhan, mendengar dengan pendengaran Tuhan, dan seterusnya.
ü  Fana’ ‘an kull az-zat (sirna dari personalitas diri). Pada tahap ini sufi menyadari non-eksistensi dirinya, sehingga yang benar-benar ada di balik dirinya ialah zat yang tidak bisa sirna selama-lamanya.
ü  Fana’ ‘an kull al-‘alam (sirna dari segenap alam). Pada tahap ini sufi menyadari bahwa segenap aspek alam fenomenal ini pada hakikatnya hanya khayal, yang benar-benar ada hanya realitas yang mendasari fenomena.
ü  Fana’ ‘an kull ma siwa ‘l-lah (sirna dari segala sesuatu yang selain Allah). Pada tahapini sufi menyadari bahwa zat yang betul-betul ada hanya zat Allah. Ketika sufi mencapai fana’ tahap keenam ia menyadari bahwa yang benar-benar ada adalah wujud mutlak yang mujarrad dari segenap kualitas nama dan sifat seperti permulaan keberadaan-Nya. Inilah perjalanan panjang sufi menuju ke asal. Kesadaran puncak mistis seperti inilah yang dicapai insan kamil.
Kedudukan Insan Kamil
Insan kamil jika dilihat dari segi fisik biologisnya tidak berbeda dengan
manusia lainnya. Namun dari segi mental spiritual ia memiliki kualitas-kualitas yang jauh lebih tinggi dan sempurna dibanding manusia lain. Karena kualitas dan
kesempurnaan itulah Tuhan menjadikan insan kamil sebagai khalifah-Nya. Yang
dimaksud dengan khalifah bukan semata-mata jabatan pemerintahan lahir dalam
suatu wilayah negara (al-khilafah az-zahiriyyah) tetapi lebih dikhususkan pada khalifah sebagai wakil Allah (al-khilafah al-ma’nawiyyah) dengan manifestasi nama-nama dan sifat-Nya sehingga kenyataan adanya Tuhan terlihat padanya.
Dalam pandangan Ibn ‘Arabi, kedua bentuk khalifah diatas sama-sama
mempunyai urgensi dalam eternalisasi eksistensi alam semesta. Namun demikian,
khilafah ma’nawiyyah menempati posisi paling asasi. Di satu sisi, ia merupakan fokus kesadaran diri Tuhan, sementara disisi lain, ia merupakan sebab muncul dan
lestarinya alam semesta. Posisi demikian berlainan dengan khilafah zahiriyyah, yang fungsinya tidak lebih dari melestarikan masyarakat dan negara, dengan menciptakan keadilan, ketentraman, dan kemakmuran dalam masyarakat. Dengan demikian, tugas khilafah zahiriyyah ini merupakan penunjang tugas khilafah ma’nawiyyah. Ini bukan berarti khilafah zahiriyyah tersebut dapat diabaikan, karena tanpa dia niscaya akan terjadi kegoncangan pada khilafah ma’nawiyyah.25
Kedudukan khalifah pertama kali ditempati oleh Adam a.s. karena pada dirinya
termanifestasi nama-nama dan sifat Tuhan. Bahkan jabatan yang diduduki oleh Adam a.s. itu (sebenarnya) tidak terlepas dari rekayasa Tuhan, seperti disebutkan dalam Al- Qur’an surat al-Baqarah: 30.
Terjemahan:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesunggguhnya Aku
hendak menjadikan khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya da menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dan memuji Engkau dan mensucikan Engkau? “Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (Qs. al- Baqarah: 30).26
Jadi, keunggulan Adam a.s. yang menyebabkan ia diangkat oleh Tuhan sebagai khalifah di sini bukan karena kesalehannya, tetapi karena dirinya dapat
memanifestasikan asma dan sifat-sifat Tuhan. Diakui bahwa malaikat adalah makhluk Tuhan yang senantiasa berada dalam kesalehan, tetapi ia tidak dapat menyandang jabatan khalifah, karena dirinya tidak mampu menerima tajalli ilahi secara sempurna, ia hanya dapat memanifestasikan salah satu dari sifat dasar Tuhan: sifat jamal (maha indah) ataupun sifat jalal (maha perkasa). Hal demikian berlainan dengan Adam a.s., pada diri Adam termanifestasi sifat-sifat jamal, seperti kasih sayang, santun dan pemurah; dan juga sifat jalal, seperti perkasa, menjatuhkan hukuman atas yang bersalah, dan bangga. Oleh sebab itu ketika Tuhan memerintahkan segenap malaikat bersujud kepada Adam, maka semuanya bersujud kecuali Iblis. Ia menolak untuk melakukan sujud karena kesombongannya, sehingga ia termasuk golongan kafir. Alasan iblis tidak mau sujud karena ia merasa dirinya lebih baik daripada Adam, ia dijadikan dari api sedangkan Adam dari tanah. Iblis, kata Ibn ‘Arabi, adalah suatu makhluk yang paling banyak dipengaruhi oleh daya ilusi (al-quwah al-wahmiyah), sehingga ia terhalang dari kebenaran karena daya ilusi tersebut. Maka ketika mendapat perintah dari Tuhan agar melakukan sujud kepada Adam, ia tidak mematuhinya. Iblis disebut juga jin, yakni suatu kelompok alam gaib yang rendah (al-malakut as-sufliyah), yang pada mulanya hidup bersam malaikat-malaikat langit yang suci, tetapi tidak dapat mencapai kebenaran mutlak karena terhalang oleh kebenaran nisbi, maka ia pun termasuk golongan kafir. Di sisi lain, insan kamil dipandang sebagai orang yang mendapat pengetahuan esoterik yang dikenal dengan pengetahuan rahasia (‘ilm al-asrar), ilmu ladunni atau pengetahuan gaib. Pengetahuan esoterik, pada dasarnya identik dengan pengetahuan Tuhan sendiri. Oleh karena itu orang yang bisa mencapainya hanyalah orang yang telah menyadari kesatuan esensialnya dengan Tuhan, dalam hal fana’ dan baqa’. Jika
seseorang telah dapat mengosongkan aql dan qalbnya dari egoisme, keakuan, keangkuhan, dengan keikhlasan total dan kemudian berusaha keras, dengan menyiapkan diri menjadi murid memohon Allah mengajarkan kepadanya kebenaran, dan dengan aktif ia mengikuti aql dan qalbnya merangkaikan berbagai realitas yang hadir dalam berbagai dimensinya, maka Tuhan hadir membukakan pintu kebenaran dan ia masuk ke dalamnya, memasuki kebenaran itu, dan ketika ia keluar, maka ia menjadi dan menyatu dengan kebenaran yang telah dimasukinya.29 Pengetahuan esoterik adalah karunia (mawhibat) dari Tuhan, setelah seseorang menempuh penyucian diri (tazkiyah an-nafs). Insan kamil juga dipandang sebagai wali tertinggi, atau disebut juga qutb (poros). Dalam struktur hierarki spiritual sufi, quthb adalah pemegang pimpinan tertinggi dari para wali. Ia hanya satu orang dalam setiap zaman. Qutb bisa pula disebut gaws (penolong), yang termasuk orang yang paling dekat dengan Tuhan, quthb dikitari oleh dua orang imam yang bertugas sebagai wazirnya. Di samping itu, ada pula empat orang awtad (pilar-pilar), yang bertugas sebagai penjaga empat penjuru bumi, masing-masing dari empat orang awtad itu berdomisili di arah timur, barat, utara, dan selatan dari ka’bah. Selain itu, terdapat tujuh orang abdal (pengganti-pengganti), yang bertugas mengurus tujuh benua; dua belas orang nuqaba’ (pemimpin-pemimpin), yang mengatur perjalanan dua belas bintang; dan masih ada delapan orang nujaba’ (orangorang yang mulia), hawariyun (para penolong), dan rajabiyun (wali-wali yang hanya muncul pada bulan Rajab).
Dari kajian di atas dapat dipahami bahwa insan kamil adalah wadah tajalli Tuhan yang berkedudukan sebagai khalifah dan sebagai wali tertinggi (qutb). Sebagai wadah tajalli Tuhan ia merupakan sebab tercipta dan lestarinya alam, dalam kedudukannya sebagai khalifah ia adalah wakil Tuhan di muka bumi untuk memanifestasikan kemakmuran, keadilan, dan kedamaian, dan dalam kedudukannya sebagai quthb, ia dalah sumber pengetahuan esoterik yang tidak pernah kering.

Kedudukan Norma dalam Insan Kamil
Taklif syarak merupakan norma-norma keagamaan untuk menata kehidupan manusia dalam hubungannya dengan Tuhan, sesamanya dan dengan makhluk lain. Kalau aturan-aturan ini dilanggar atau tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya niscaya akan terjadi kekacauan dalam kehidupan manusia. Pada aspek aksiologis, Tuhan merupakan wujud yang maha baik, yang menyukai kebaikan, dan ingin menyebarkan kebaikan. Karena itu, ia memanifestasikan diri-Nya dengan norma, hukum, atau wahyu. Jadi wahyu juga merupakan salah satu wadah tajalli-Nya. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa syariat yang merupakan aktualisasi dari wahyu itu mengandung nilai-nilai keilahian.31 Untuk mencapai martabat insan kamil, sufi harus mematuhi aturan-aturan formal keagamaan, yang bersumber dari kitab suci Al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad saw. Pengetahuan dan tindakan yang tidak didukung oleh kitab suci dan sunnah Nabi saw. merupakan pengetahuan dan tindakan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya, bahkan menyesatkan. Oleh sebab itu, jika
seseorang memperoleh ilham, dia harus mempertimbangkannya lebih dahulu atas
kriteria kandungan Al-Qur’an dan sunnah; jika ilham yang diperolehnya itu sesuai
dengan kandungan Al-Qur’an dan sunnah, menandakan ilham yang didapatnya itu
datang dari Allah dan dia boleh melaksanakannya; tetapi kalau ilham itu tidak sesuai dengan kandungan Al-Qur’an dan sunnah dia tidak boleh mengamalkannya, karena boleh jadi ilham yang demikian bersumber dari bisikan iblis yang menyusup ke dalam lubuk hatinya. Semakin tinggi martabat spiritual sufi bertambah sulit pula jalan yang ditempuh dalam suluknya. Jalan berliku menanjak, petir menyambar, hujan mengguyur dalam gelap gulita malam sementara tujuan belum tercapai ditambah godaan setan dari yang kasar sampai yang halus menghanyutkan, sufi yang sudah kebal dengan rayuan setan kelas teri tentu diburu oleh setan kelas kakap bahkan the big bos juga turun tangan. Dikisahkan pada suatu ketika Syekh Abd al-Qadir al-Jilany melihat cahaya terang, di dalamnya terdapat penampakan yang memanggil: “Hai Abdal-Qadir, aku tuhanmu, aku halalkan untukmu segala yang diharamkan! Dia menjawab: “Aku berlindung dengan Allah dari setan yang dirajam, pergilah hai terkutuk! Padamlah cahaya terang itu, setan yang mengaku tuhan itu berkata:“Engkau telah selamat dariku dengan hukum Tuhanmu dan kepahamanmu dalam mempertahankan martabat spiritual. Padahal aku telah menyesatkan tujuh puluh ahli suluk dengan metode ini. “Dia menjawab: “hanya milik Tuhanku segala keutamaan dan anugerah.” Syekh ditanya: “Dengan apa engkau mengerti bahwa penampakan itu setan?” Dia menjawab: “Dengan ucapannya telah kuhalalkan, untukmu segala yang diharamkan, maka aku segera mengerti sesungguhnya Allah tidak memerintahkan dengan kejahatan.”33 Abu Bakar al-Makky berkata: “Para salik (penempuh spiritual) harus melakukan syariah, thariqat, dan haqiqah. Syari’ah adalah perintah-perintah yang diperintahkan Allah dan larangan-larangan yang dilarang Allah. Thariqah adalah melakukan dan mengamalkan syariah. Haqiqah adalah memandang bahwa esensi dan penggerak perbuatan adalah Allah. Pernyataan hanya kepada-Mu aku menyembah merupakan dimensi syariah dengan memandang perbuatan lahir yang dilakukan hamba, dan pernyataan hanya kepada-Mu aku memohon pertolongan merupakan dimensi haqiqah karena hamba memfanâ’kan daya upayanya dengan menyadari segala perbuatan tidak akan terlaksana tanpa bantuan dan kekuatan Allah.”34
Insan kamil sebagai manusia sempurna tentu mematuhi norma taklif yang dibebankan Allah. Tata laku lahir berupa norma taklif dirancang Allah untuk kebaikan manusia. Al-Qur’an surat al-Bayyinah: 5 menjelaskan:
Terjemahan:
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus dan supaya mereka mendirikanm shalat dan menunaikan zakat dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (Qs. al-Bayyinah:5)

 




3.1 Kesimpulan

Era pencerahan dianggap sebagai sebuah masa di mana manusia Eropa (para intelektual dan filsuf) berusaha mewujudkan sebuah sistem pengetahuan, etika, dan estetika yang sepenuhnya dibangun berdasarkan rasionalitas yang tercerahkan. Upaya ini merupakan sebuah respon yang benih-benihnya telah disemai oleh para tokoh Renesans dan Reformasi pada abad ke-15 dan ke-16.
Dalam pencerahan, yang lebih penting adalah bagaimana manusia mampu memelihara independensi akal-pikirannya dan mampu mengontrol dirinya dari pengaruh-pengaruh pemikiran yang datang dari luar nalarnya. Pengaruh pemikiran luar tak hanya sebatas pandangan atau ide partikular saja, tapi  penting  juga sistem pemikiran yang melembaga dalam institusi-institusi publik seperti negara dan agama. Banyak tokoh Islam yang lahir pada abad pencerahaban, salah satunya ibnu Arabi. Beliau membuat perspektif kejiwaan dalam bentuk insan kamil.
Insan kamil berasal dari bahasa Arab, yaitu dari dua kata Insan dan kamil. Secara harfiah, Insan berarti manusia, dan kamil berarti yang sempurna. Dengan demikian, insan kamil berarti manusia yang sempurna. Menurut Ibnu ‘Arabi, insan kamil merupakan wadah tajalli Tuhan yang paripurna, sementara disisi lain, ia merupakan miniatur dari segenap jagad raya, karena pada dirinya terproyeksi segenap realitas individual dari alam semesta, baik alam fisika maupun metafisika. Al-Jili merumuskan insan kamil ini dengan merujuk pada diri Nabi Muhammad SAW sebagai sebuah contoh manusia ideal. Dalam Al-Qur’an menerangkan bahwa nabi Muhammad adalah figur insan kamil yang patut dicontoh oleh umat manusia. Insan kamil adalah wadah tajalli Tuhan yang berkedudukan sebagai khalifah dan sebagai wali tertinggi (qutb).

 

3.2 Saran-Saran

Makalah ini diharapkan dapat menjadi bahan maupun referensi pengetahuan mengenai sejarah filsafat pada abad pencerahan. Kami menyadari bahwa pada makalah ini banyak terdapat kekurangan, oleh karena itu kami mengharapkan kritikan dan saran yang membangun dari pembaca agar kedepannya kami menjadi orang yang lebih baik dari sekarang.














\


DAFTAR PUSTAKA


Ali, Basyarat. A. Problem Filsafat Abad Percerahan. 10 Januari 2010 Myopera.com/basyarat/blog/2001/01. Diakses tanggal 30 September 2010
Bakry, H. 1991. Di Sekitar Filsafat Skolastik Kristen. Jakarta: Firdaus.
Hanafi, A. 1983. Filsafat Skolastik. Jakarta: Pustaka Alhusna
Maksum, Ali. 2010. Pengantar Filsafat. Jogjakarta : Ar Ruzz Media
Mustansyir, Rizal. 2009. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Belajar Offset
Petrus, Simon. 2004. Petualangan Intelektual. Yogyakarta: Kanisius
Surajiyo. 2005. Ilmu filsafat suatu Pengantar. Muthari Murtalha,  2003, Manusia Sempurna, Jakarta,  Lentera
Syukur, M. Amin, dan Usman, Fathimah,  2005, Insan Kamil, Semarang, CV. Bima Sejati
Tim Penyusun MKD.2011. Pengantar Filsafat. Surabaya : IAIN Sunan Ampel Press


2 Responses to "Pandangan ibnu arabi pada periode pencerahan "